"Pak Pendeta, sudah sampai mana?" tanya saya lewat telepon.
Jam dinding menunjukkan pukul setengah enam sore. Tiga puluh menit lagi, ibadah dimulai. Kali ini tempat saya mendapat kunjungan pelayanan dari sebuah gereja, di malam Paskah, memperingati kematian Yesus Kristus.
Beberapa bangku hijau sekitar lima puluh buah sudah tertata rapi dalam aula. Mimbar pengkhotbah sudah dibersihkan. Alat musik berupa sebuah gitar, yang selalu menemani saya dan orang-orang terhormat di tempat ini, telah siap bersama pengeras suara. Kotak-kotak makanan sudah hangat tersaji di atas meja.
Aula ini diatur sedemikian rupa. Ada secarik kain hitam membalut salib besar yang terpasang kokoh di dinding bagian tengah mimbar. Pada ujung salib, ada rangkaian lingkaran kawat-kawat kecil, yang memang sengaja dikalungkan, dengan dimasukkan lewat bagian atas dan tersangga di bagian tengah salib, sebagai perlambang mahkota duri yang Yesus pakai ketika penyaliban terjadi.
Dari sekian banyak ibadah yang dilangsungkan di panti ini, saya sebetulnya kurang suka dengan ibadah kali ini. Pasti ada duka, ada rasa kehilangan, ada pula keharuan, semua berbaur jadi satu, dalam tangisan yang selalu pecah dan tak kunjung usai selama ibadah.
Saya tidak tahu apakah tangisan mereka benar-benar merasa kehilangan, karena Yesus disalib? Atau keharuan karena dosa telah dihapus? Atau kerinduan akan kedatanganNya?
Yang pasti, masalah kerinduan, saya begitu hafal. Mereka selalu menangis, menangis, dan menangis, menaruh rindu pada saudara yang jauh di sana dan entah mengapa bisa menitipkan mereka di panti ini.
Apakah saudara itu begitu sibuk sehingga tidak ada waktu mengurus orangtua mereka yang semakin sepuh ini? Apakah saudara itu sudah tidak sayang lagi dengan mereka yang mudah lupa dan terkadang untuk buang air besar saja tidak bersih? Apakah saudara itu sengaja mengirim mereka ke sini supaya bisa bertemu rekan seusia mereka?
Untuk yang terakhir, hanya satu yang terjadi. Apa pun alasannya, saya rasa kedekatan antara anak dengan orangtua lebih hangat daripada dengan orang yang tidak mereka kenal tetapi seusia. Ada pertalian darah dan jutaan kenangan yang tidak bisa terhapus dalam hubungan anak dan orangtua.
Sebagai petugas yang sudah bertahun-tahun kerja di sini, saya sudah menganggap mereka sebagai orangtua saya. Tangisan mereka, curhatan mereka, kejengkelan mereka, saya tampung begitu saja sebagai bentuk pelayanan saya pada orangtua. Ya, saya tidak sempat berbakti, karena ayah dan ibu saya sudah meninggal sejak saya sekolah dasar.
Ada oma yang umurnya sudah mendekati seratus tahun. Rambutnya putih dan begitu kusut, seperti tidak terawat. Saya selalu menyisirnya setiap mengantar makan siang, tetapi sekembalinya saya ke dapur, rambut itu berubah kusut dan tangannya selalu menggaruk-garuk kepala. Pemandangan air mata yang mengalir sekejap terlihat dan saya hanya mengelus dada. Saya harus kuat ketika dia lemah.