Bila ada orang yang berkata bahwa ia sudah berkelana ke hampir seluruh penjuru bumi, berburu keindahan-keindahan dari pemandangan alam yang tanpa dibuat manusia ada begitu saja, begitu eksotis bak negeri dongeng, sehingga sanggup memuaskan nafsu mata akan kecantikan dunia, tidak lain dan tidak bukan itu adalah saya.
Saya sudah pergi ke mana-mana, bahkan ke negeri yang kamu belum pernah injak mungkin sampai seumur hidupmu. Keindahan bunga Sakura yang mekar pada musim semi di Jepang, dengan beberapa warga duduk di bawahnya sambil menikmati beberapa potong kue dan bercengkerama dengan keluarga saat sore hari, saya tahu rasanya.
Memandang air terjun Niagara di Amerika yang jatuh mengalir begitu deras, memercik membasahi tubuh dalam udara yang begitu menyegarkan dan tanpa polusi, saya paham sejuknya.
Belum lagi bercanda dengan para pengembara di negeri padang pasir Arab sana, di bawah terik matahari yang begitu menyengat, sehingga pandangan terkadang berair dan kerap salah menebak ada oase di dekat, masih terasa panasnya sampai sekarang.
Semua itu terekam dalam mata saya, baik kiri maupun kanan. Apa yang telah saya lihat betul, tersalur lewat saraf dan mengendap di otak sebagai kumpulan memori yang terkadang bila diulang bisa membuat saya senyum-senyum sendiri, perlahan menghapus derita kelam yang pernah saya alami.
Saya memang bersyukur memiliki mata yang masih sangat baik dalam melihat. Tanpa kacamata dan tanpa softlens. Adakah lensa kamera yang lebih bagus daripada sepasang mata? Keindahan-keindahan dunia yang begitu cantik serasa tidak berguna bila mata tidak bisa melihat.
Namun, ada satu daerah yang ingin sekali saya kunjungi, tetapi belum kesampaian. Saya hanya melihatnya dari televisi di kamar saya yang begitu sempit ini.
Berukuran tiga kali empat meter persegi, di antara begitu banyak mata yang saya simpan begitu baik, terpajang pada rak-rak yang tersusun bertingkat dan rapi di setiap dinding hitam, yang sebagian menjadi kemerahan karena ada darah yang menetes dan mengalir dari mata yang baru saja saya ambil dan belum begitu kering itu.
Namanya Swiss. Entah kenapa, kesejukan yang saya lihat bisa terasa benar, seperti keluar dari televisi dan saya hirup dalam-dalam begitu segar udara di sana.
Hamparan pegunungan Alpen yang berderet begitu indah, naik turun, sebagian terselimuti salju yang begitu dingin, sebagian lagi ditumbuhi pohon-pohon di sana sini, begitu lebat dan membuat tubuh gunung-gunung berwarna hijau sungguh menyegarkan.
Belum lagi danau di sekitarnya dengan air yang begitu jernih dan tenang, dengan beberapa warga mengayuh perahu, bercinta di atasnya, beberapa ada yang bercumbu dan memadu kasih.