Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Jamu Yu Mince

Diperbarui: 24 Maret 2021   15:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Thinkstock

Kehadirannya baru beberapa hari di kompleks perumahan kami, tetapi itu lebih dari cukup memikat beberapa lelaki yang entah mengapa hanya duduk-duduk di tepi lapangan bola di bawah sebuah pohon mangga yang besar dan begitu rindang, bercengkerama setiap siang sambil tertawa tergelak-gelak ketika lainnya sedang pusing bekerja di kantor.

Saya tahu siapa mereka, lelaki-lelaki itu. Saya tahu orangtua mereka. Tetapi, saya tidak mau tahu mengapa mereka berlagak atau mungkin memang mendalami penuh profesi pengangguran itu. 

Bagaimana perasaan orangtuanya, bagaimana kehormatan keluarganya, bagaimana masa depan mereka nanti, saya masa bodoh. Kepala perumahan pernah berusaha mencarikan solusi agar mereka tidak menghabiskan waktu sia-sia, tetapi mereka tidak mengindahkannya.

Apa yang mereka perbincangkan, sekali dua kali sempat saya dengarkan. Misteri kehidupan dan kematian, mengapa orang begitu payah mencari uang yang ujungnya nanti juga tidak dibawa mati, mengapa orang sulit sekali tertawa padahal mereka hanya terjebak dalam masalah yang dibuat sendiri, dan topik lain yang saya rasa tidak terlalu penting untuk dibahas. Atau, jangan-jangan mereka memang berbakat menjadi filsuf?

Dari sekian banyak percakapan yang mau tidak mau saya dengar meskipun saya sudah berada di bagian belakang rumah saya--suara mereka begitu kencang dan rumah saya tepat di tepi lapangan bola, hanya selemparan batu jaraknya dengan tempat mereka nongkrong--ada satu yang tidak pernah lewat mereka bicarakan setiap siang, setiap saya berusaha susah payah menidurkan bayi saya, di tengah cekikikan mereka.

"Yu Mince belum datang?" tanya seorang lelaki dengan sebuah topi di kepalanya.

"Iya ya, ke mana nih? Sudah jam segini, seharusnya sudah sampai di sini," jawab lelaki berkulit hitam yang duduk di sebelahnya. Sementara satu lagi hanya menyandarkan punggung di batang pohon mangga. Matanya terpejam. Rambut gondrongnya berkibar-kibar. 

Saya rasa dia begitu keenakan menikmati semilir angin dan teduhnya pohon itu di siang yang begitu terik. Sembari menggendong bayi, saya sengaja melihat mereka dari jendela. Meskipun sebagian percakapan mereka seperti omong kosong, ada beberapa yang masuk akal dan sesekali saya pakai sebagai landasan hidup saya.  

"Kring..kring..kringg.."

Terdengar suara bel sepeda.

"Nah, itu dia datang," kata lelaki yang tertidur itu. Suara bel itu membangunkannya. Mereka bertiga lekas mendekati seorang perempuan yang mengendarai sepeda itu, yang saya kira berumur sekitar tiga puluh tahun. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline