Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Apakah Cerpen Sekadar Curhat?

Diperbarui: 8 Maret 2021   21:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Dokpri

Tidak bisa dimungkiri, sebagian besar cerpen-cerpen pilihan Kompas yang saya baca atau cerpen pengarang besar yang saya dengar lewat audio media sosial--terima kasih kepada para penggiat media sosial yang membuat kontennya berupa pembacaan cerpen, sehingga cerpen menjadi lebih hidup dan saya tidak perlu capai membaca--mengandung unsur curhat.

Apa itu curhat? Curhat merupakan akronim dari curahan hati, atau "menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi pada orang terdekat seperti orang tua, teman". Kurang lebih begitu KBBI bercerita.

Lengkapnya, bagaimana cara orang menyampaikan apa yang dirasa, emosi yang dialami, hasil pikir tentang benar salah, baik sebagai pelaku utama, korban, atau sekadar orang ketiga.

Hal ini wajar, karena sebagai manusia, kita pasti bereaksi dan memberikan penilaian terhadap peristiwa di sekitar, sampai-sampai pemikiran yang belum terjadi pun kita komentari. Oleh sebab itu, sebagian orang menganggap cerpen adalah sarana yang baik untuk pemulihan jiwa.

Bumbu-bumbu curhat bila dirangkai sedemikian rupa sehingga enak dibaca, akan mengingatkan kembali sisi kemanusiaan kita. Bahwa manusia memang bisa marah, terkadang iri, tidak sependapat, atau sesekali egois dan tidak mau menyenangkan orang lain. Sekali lagi, ini pun wajar, walaupun sebisa mungkin dihindari, karena berpotensi merugikan diri sendiri bahkan orang lain.

Namun, tidak semua cerpen hanya berkutat soal curhat. Ada hal lain yang tidak kalah penting, yang bila diceritakan dan didokumentasikan dengan apik, sangat berharga untuk kemajuan peradaban manusia.

Melestarikan budaya

"Di Passiliran ini, kendati begitu ringkih, tubuh Indo tidak pernah menolak memeluk anak-anaknya. Di sini, di dalam tubuhnya--bertahun-tahun kami menyusu getah. Menghela usia yang tak lama. Perlahan membiarkan tubuh kami lumat oleh waktu--menyatu dengan tubuh Indo. Lalu kami akan berganti menjadi ibu--makam bagi bayi-bayi yang meninggal di Toraja..."

"Keesokan hari setelah kulantangkan sumpah di halaman balai desa, celurit itu masih di tempat yang sama. Tergantung sungsang pada paku payung berkarat di dinding sebuah kamar yang sudah sekian tahun kau kosongkan. Celurit yang tidak terlalu melengkung dan matanya tidak mengilap, justru agak coklat seperti berkarat, itu seolah tidak sabar menanti malam eksekusi."

Kedua petikan cerpen di atas berurutan diambil dari cerpen berjudul "Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon" karya Faisal Oddang, terbit di Kompas Minggu, 4 Mei 2014 dan "Celurit Warisan" karya Muna Masyari, terbit di Kompas, 11 Desember 2016.

Faisal menggambarkan bagaimana budaya orang Toraja memakamkan bayi di pohon, sedangkan Muna Masyari, asal Pamekasan ini, mengulas senjata tradisional suku Madura, yaitu celurit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline