"Lari! Cepat lari! Tinggalkan saya!"
Teriakan Sulepret semakin samar. Suaranya sayup-sayup terdengar menjauh bersama langkah kaki kami yang mengarah entah ke mana. Kami harus lepas dari mereka. Jangan sampai perjuangan Sulepret sia-sia.
Seusai menengok sekilas tubuhnya dari jarak lima ratus meter, yang tergolek lemah sehabis dipukul beberapa orang berpakaian hitam yang tiba-tiba saja datang tidak sesuai jadwal, kami lekas-lekas mencari tempat persembunyian.
"Sepertinya kita sudah jauh," kata Samijun dengan napas tersengal-sengal. Punggungnya bersandar pada sebuah pohon pisang. Mungkin sudah sepuluh kilometer kami berlari dan untung kaki kami terlatih melakukannya. Aspal jalan yang sangat panas siang itu benar-benar membakar telapak kaki kami. Saya memandang ke sekitar. Sekali lagi saya memandang, memastikan orang-orang itu tidak tampak lagi.
"Kita istirahat dulu di sini," kata saya perlahan sembari merebahkan badan. Angin sepoi-sepoi bertiup. Langit sejenak gelap. Sebongkah awan menutup sinar.
Kami bertiga berteman baik. Saya pendatang baru dibanding mereka. Mereka guru saya, guru kehidupan. Sulepret dan Samijun sudah menjadi gelandangan hampir satu tahun di kota ini. Saya baru beberapa hari kemarin bergabung.
Rumah Samijun hangus dilalap api yang dia tengarai disulut oleh istrinya sendiri. Dia pernah tertangkap berselingkuh pada suatu malam. Atas perbuatan nista itu, dia diputus kerja oleh kantornya.
Beberapa hari setelahnya, ketika permintaan cerai dan pembagian harta gono-gini oleh istrinya tidak dikabulkan, rumahnya terbakar. Istri beserta kedua anaknya tidak terluka sama sekali. Mereka tinggal bersama orangtua mereka. Sementara Samijun yang sebatang kara terpaksa menggelandang di jalanan.
Sulepret lain lagi. Rumahnya hancur porak-poranda dilanda banjir beberapa waktu lalu. Karena tembok-tembok roboh, dokumen-dokumen penting hilang, semua perabotan hanyut terbawa air, sedangkan dia seorang pengangguran, maka tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menggelandang. Bertemu di jalan dengan Samijun, satu-satunya orang yang dia anggap benar-benar saudara.
Kendati nasib begitu miris, saya tidak pernah menemukan kesedihan pada raut wajah mereka. Pertama kali bertemu, saya melihat mereka tertawa riang. Sampai sekarang, bahkan ketika Sulepret tertangkap, saya masih melihat wajahnya tersenyum.