Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Kucing Kakak

Diperbarui: 29 Januari 2021   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi anak kucing. (Sumber:Pixabay)

Bila seandainya ada pertanyaan, hendak menjadi apa saya nanti di kehidupan kedua selain manusia, jawabannya tentu kucing. Bukan tanpa alasan. Saya melihat hewan yang mudah dijumpai itu sangat disayangi kebanyakan orang di sekitar. Tidak terkecuali kakak.

Entah berapa kali saya ingatkan kakak akan umurnya yang hampir mencapai pucuk itu. Sebagai adik yang masih dan layaknya harus perhatian, saya tidak tega melihatnya membusuk di usianya sekarang.

Kakak bukan tidak cantik, bukan pula tidak bisa laku di kalangan teman-teman lelakinya. Dengan perawakan tinggi semampai, lingkar pinggang kecil dan perut tipis tak berlemak, wajah putih bersih halus tanpa noda, rambut hitam berkilau panjang terurai tiada kusut, dan buah dadanya yang lebih besar dari saya, saya rasa dia mudah mendapatkan cinta. 

Terkadang saya sempat berpikir, sebagai anak bungsu, saya adalah produk buatan ampas. Semua kromosom terbaik pembawa kecantikan dan keelokan tubuh dari bapak dan ibu direbut olehnya.

Bulan depan, tepatnya 18 Oktober, usia kakak menginjak 40 tahun. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda kakak menggandeng lelaki. Desakan bapak dan ibu yang berulang kali setiap hari disampaikan waktu makan malam bersama di rumah tidak sedikitpun terlihat menggusar hatinya.

Saya pernah bertanya mengapa bapak dan ibu sepikiran dengan saya, terus mendesak kakak menikah? Apakah mereka betul-betul khawatir, anak gadisnya tidak laku-laku? Apakah mereka sangat ingin punya cucu? 

Atau, mereka mulai bosan melihat tingkah anehnya itu? Ternyata, mereka hanya malu dan tidak kuat mengatasi cibiran tetangga yang menusuk sangat tajam, lebih tajam dari mata pisau apapun.

"Cepat dikawinkan, Bu. Nanti keburu tidak laku lho. Kan anak ibu punya tampang, masak tidak punya pacar. Atau, jangan-jangan, tidak suka laki-laki lagi."

Perkataan itu pertama kali didengar ibu ketika arisan. Seperti tidak ada lagi anak mereka yang bisa dibahas sampai-sampai membahas anak orang. Apa pula pemikiran tidak suka laki-laki itu? Ibu mengomel seharian di depan bapak. Bapak terdiam.

Sebagai lulusan universitas terkemuka dengan IPK cumlaude, kakak mudah diterima bekerja di berbagai perusahaan. Lamaran diajukan dan semuanya meluluskan. Dia akhirnya memilih bekerja di bank, karena itu yang sanggup membayarnya dengan gaji tertinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline