Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Meja Penghakiman

Diperbarui: 26 Januari 2021   00:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber:news.klikpositif.com

"Mengapa Saudara sedari tadi terus melawan pendapat saya? Apakah Saudara ingin menjadi pahlawan, dengan meringan-ringankan beban hukuman yang pantas diderita para penjahat atas dasar kemanusiaan? Bukankah kejahatan harus dibalas kejahatan? Seperti mereka tidak berpikir sebelum berbuat jahat, seperti itulah kita harus merumuskan kegilaan atas hukumannya. Itu namanya setimpal"

Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Siapa yang membunuh wajib dihabisi nyawanya, siapa yang mencuri harus dipotong tangannya. Prinsip itu selalu ditentang oleh seorang lelaki di depan kedua rekannya.

Mereka bukan orang biasa, melainkan sosok terpandang yang diberi kepercayaan oleh banyak orang untuk merumuskan hukum atas tindak kejahatan di negeri yang baru saja merdeka sepuluh hari lalu dari tangan penjajah dengan jumlah penduduk tinggal sepuluh ribu orang.

Lelaki itu bersama lelaki yang lebih tua dan seorang wanita cantik paruh baya sudah duduk lebih dari dua hari, mengelilingi meja bundar bertaplak putih dalam sebuah gedung tua yang satu-satunya tertinggal cukup megah dan terhitung layak untuk dijadikan istana.

Mereka adalah pemimpin pergerakan dari tiga arah wilayah negeri prematur itu. Rekan mereka, dari sisi selatan, tidak sanggup mempertahankan sisa napas, ketika peluru senapan penjajah tepat bersarang di jantungnya.

Sebagai bentuk perlawanan total atas rezim penjajah, mereka bersepakat memutuskan untuk tidak mengadopsi hukum yang bertahun-tahun telah penjajah terapkan di wilayah mereka. Khusus malam itu, tinggal dua tindak kejahatan yang belum terputus hukumannya.

"Apakah Saudara tega membunuh pembunuh? Tidak adakah sedikit belas kasihan di hati Saudara? Kita kan tahu, negeri ini tidak banyak penduduknya. Lagipula, kebiasaan membunuh penjajah mungkin masih terbawa sampai sekarang. Bila itu diterapkan, bisalah Saudara bayangkan, penduduk kita yang sudah sedikit akan semakin sedikit saja."

Lelaki itu kembali lagi melawan dengan dasar kemanusiaan. Rapat yang kian memanas dan telah berlangsung dari pagi hingga dini hari itu belum menemukan titik temu atas perbedaan pendapat keduanya.

Beberapa kali lelaki itu, pemimpin pergerakan utara, mencoba meluluhlantahkan kerasnya hati lelaki lebih tua di depannya, pemimpin pergerakan barat. Sang wanita hanya terdiam dan sesekali dahinya berkerut-kerut. Rambut panjangnya dia belai terus-terusan, seperti hendak mengalihkan perhatian dan mendinginkan otak dari panasnya perdebatan.

"Dan bukannya Saudara tahu, pembunuhan adalah tindakan keji. Dengan alasan apapun, tidak pernah dibenarkan perbuatan menghilangkan nyawa orang itu. Nyawa adalah pemberian Yang Kuasa, dan Yang Kuasa yang pantas mengambilnya. Bukan kita!"

"Dari tadi Saudara ada saja dalih meringankan. Apa maksud Saudara di balik semua itu? Saudara ingin melindungi siapa? Kita harus menakuti penduduk supaya mereka tidak membunuh. Dan hukuman dibunuh adalah paling menakutkan"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline