Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Percakapan Dua Sahabat Menjelang Natal

Diperbarui: 23 Desember 2020   23:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Shutterstock

Hari itu tanggal 23 Desember. Lusa, sesuai kalender yang tergantung di dinding kamar itu, hari Natal tiba. Hari besar yang dirayakan satu kali setahun oleh umat Kristiani. Pengikut Yesus Kristus.

Pada angka 24 dan 25 di bulan Desember di kalender itu, terdapat lingkaran merah, bulat sempurna. Bukan lingkaran yang tercetak sejak kalender dibuat, melainkan dengan sengaja digambar oleh lelaki penghuni kamar itu.

"Tanggal 24 Desember adalah cuti bersama. Sementara, 25 Desember libur Natal." Demikian pengumuman yang didengarnya berbulan-bulan lalu, dari salah satu saluran televisi swasta kesukaannya.

Baginya, dua hari itu sangat bersejarah. Lelaki itu akan mengosongkan segala aktivitas keseharian, untuk berkumpul bersama keluarga besar di kampung. Semua penghasilan yang telah dia kumpulkan, sebagian besar dihabiskan pada kedua tanggal itu.

Dulu, dia suka menerima amplop berisikan uang yang baginya bernilai cukup besar di usianya yang masih remaja itu. Setidaknya ada lima amplop. Dari ayah, ibu, kakak, paman, dan bibi. Ini belum terhitung dengan amplop-amplop tambahan, yang terkadang dia peroleh dari teman ayahnya. Sekarang, setelah dia sudah bekerja dan hidup mandiri, seyogianya giliran dia yang membagi-bagikan amplop.

Sudah menjadi kebiasaan pada keluarga itu, bahwa setiap Natal semua anggota keluarga wajib berkumpul di rumah Ayah. Mengenakan baju baru dan celana baru. Dandanan anggota wanita juga harus cerah. Sementara lelaki tampil dengan setelan jas. Rapi.

"Natal adalah perayaan besar. Kita harus berpesta dan berbahagia, sebab juru selamat manusia telah datang ke dunia." Kalimat pembuka dari ayahnya pada setiap perkumpulan keluarga di malam Natal masih teringat jelas pada benaknya.

Setelah perkumpulan selesai, segenap keluarga besar itu akan menghabiskan waktu bersama berlibur di vila kepunyaan ayah. Masak barbeque, menyalakan kembang api, makan jagung bakar. Sungguh betapa bahagianya Natal bagi keluarga itu.

Nahas, itu semua sekadar angan-angan yang mau tidak mau harus buyar dari benaknya. Wabah Covid-19 yang sampai akhir tahun itu belum usai--malah lebih parah-- membuatnya tidak bisa pulang kampung.

Di samping imbauan yang berwenang untuk sebisa mungkin tidak mudik, ibunya sendiri melarang pulang. Ibunya sudah berusia senja, mendekati tujuh puluh lima tahun Januari depan. Umur-umur yang sangat rentan terkena Covid-19.

Karena dia terbilang anak yang patuh pada orangtua--terutama ibu--tanpa perlawanan larangan itu dia kerjakan. Tanpa perlawanan. Bukan berarti tanpa kesedihan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline