Masih adakah yang berkirim surat dengan tulisan tangan akhir-akhir ini? Kamu bagaimana? Kalau kami, orang-orang yang suka membaca dan bercita-cita menjadi penulis, sangat menyukai.
Kami membiasakan diri menulis dengan tangan sejak SMP. Waktu itu, di perpustakaan SMP 1 Wayore--SMP terkemuka di kota kami-- kami berlomba menulis cerpen minimal seribu kata dalam waktu tidak boleh lebih dari satu jam. Topik bebas.
Aku berhasil. Cerpen mengangkat tema seorang anak yang durhaka kepada orang tua, sungguh menarik dibaca, bahkan menjual bila dibukukan. Katanya. Sayangnya, waktuku melebihi batas.
Sedangkan Rinta, pacarku sekarang, kurang dari satu jam. Cerpennya tentang cinta segitiga--yang menurutku membosankan tetapi tidak tega kukatakan-- selesai kurang dari satu jam. Tepatnya lima puluh lima menit.
Tentu, Rinta dengan pongahnya berbangga diri di depanku. Masih kuingat jelas bagaimana dia mengangkat bahu, tangannya bersedekap, sembari bibirnya yang tipis itu berucap aku kalah telak.
Aku kesal dan ingin marah atas kesombongannya. Tetapi, tidak sepenuhnya bisa. Aku selalu terbuai dan tiba-tiba entah ke mana emosi negatifku hilang, bila memandang parasnya yang elok itu. Sering pula terbawa mimpi. Seakan-akan, tidak ada wanita yang kutemui sejauh ini, bisa lebih elok daripadanya.
Rambutnya hitam lurus sebahu, hidungnya sangat mancung, pipinya tirus dengan sedikit lekukan di bagian tengah. Bila tersenyum, manis sekali. Belum lagi, pandangan bola mata birunya itu. Aku rela berjam-jam menerima ocehannya. Di depannya.
Bagi kami, menulis dengan tangan menunjukan banyak arti. Selain memperlihatkan bahwa otak dan tangan masih selaras dalam pergerakan, menulis dengan tangan membuktikan keseriusan seorang penulis.
Bagaimana tangan-tangan itu bergerak dari kiri ke kanan, menciptakan tulisan yang indah dibaca. Bentuk hurufnya, tarikan garisnya, hingga ketebalan tintanya. Kemudian, bagaimana mengatur jarak antartulisan agar enak dilihat. Bagaimana pula menciptakan kertas dengan tulisan yang bersih tanpa coretan. Pasti dia hati-hati sekali.
Emosi seorang penulis juga bisa dibaca dari bentuk tulisan. Bila sedang bahagia, tulisan cenderung ikutan bagus. Bila sedang marah, hanya bentuk ceker ayam yang tampak.
Tentu, ini dikecualikan dari profesi dokter. Konon katanya, mereka sengaja menjelekan tulisan agar resep obat tidak mudah dibaca dan disalahgunakan. Hanya apoteker yang terbiasa yang bisa membaca.