Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Kematian Ayah

Diperbarui: 16 Desember 2020   21:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

“Kalian bisa pulang sekarang?” Tanyaku via telepon kepada ketiga anakku. Mereka tidak tinggal serumah bersama kami. Masing-masing telah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri.

Si sulung sudah lama merantau di negeri orang. Anak tengah terdiam di pulau seberang. Sementara bungsu, hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Entah, kami tidak pernah diberitahu di mana posisi tepatnya si bungsu tinggal.

Aku menemani ayah di rumah bersejarah ini. Tak seberapa besar, tetapi cukup luas untuk ukuran rumah di kampung halaman. Di sini, kami berjuang melawan kemiskinan, hingga sekarang bisa menyekolahkan mereka bertiga. Di rumah ini banyak kenangan. Saksi hidup jalinan kisah cinta kami.

Kami menghabiskan masa tua di sini. Ayah menyibukkan diri merawat burung dan bercocok tanam di pekarangan rumah. Dia suka sekali menanam bunga mawar.

Sementara aku, menjahit pesanan baju tetangga, yang semakin hari kurasa semakin banyak saja. Aku tidak pernah sengaja bekerja menjadi penjahit pakaian. Saat itu, ketika kulihat baju Bu Budi, tetanggaku, robek parah, kutawarkanlah bantuan memperbaiki sekaligus mempercantik baju itu. Respon Bu Budi saat melihat hasilnya puas sekali. Mungkin, dialah yang menyebarluaskan berita itu ke telinga warga lain.

“Maaf Bu, Andi belum bisa pulang. Masih ada proyek yang harus selesai minggu ini” Jawab si sulung. Dia sangat sibuk dengan usahanya. Di luar negeri, dia kaya sekali. Bekerja di perusahaan konstruksi, dia sering memenangkan lelang proyek pembangunan. Selain itu, dia investasi saham di mana-mana. Sebulan sekali dia mengirim uang kepada kami. Lumayan untuk makan sehari-hari.

“Maaf Bu, Susi ada kerjaan. Tidak bisa pulang minggu ini” Kata si bungsu. Aku sebetulnya bingung kerjaannya apa. Dia tidak cerita, hanya memberi kabar bahwa keadaannya baik-baik saja. Uang satu juta yang dikirimnya akhir bulan, meyakinkanku bahwa pekerjaannya bukan biasa-biasa saja. Buktinya, sebanyak itu mampu dia kirim. Tetapi, aku tetap masih penasaran.

“Uhukk-uhukk” Batuk ayah semakin kencang. Ayah kembali mengeluh. Dia elus-elus dadanya berulang kali. Sesekali, dahinya mengerenyit, tanda kesakitan. Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuh.

“Kita periksa ke dokter aja ya Yah?”

“Tidak perlu Bu. Gimana anak-anak? Bisa pulang?” Dia terus bertanya di tengah usahanya menahan sakit.

Ayah pernah divonis sakit jantung oleh dokter. Ketika itu, dia merasakan sulit bernapas dan nyeri di dada. Tepat setelah mengetahui kabar, Dodi si anak tengah, tertangkap tangan oleh polisi sebagai pengedar sabu. Dodi pun dihukum tiga tahun penjara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline