"Tunggu sebentar ya, dua hari lagi kiriman Bapak untuk kalian sampai"
Demikianlah tulisan seorang lelaki tua di grup WA keluarga. Ditujukan kepada keempat anak, yang masing-masing tinggal di luar kota. Entah mendapat firasat apa, lelaki itu tiba-tiba ingin memberikan miliknya yang paling berharga.
Pertemuan keluarga lengkap sangat jarang terjadi di rumah lelaki itu. Tiap-tiap anak punya kesibukan sendiri. Si sulung berkobar-kobar menyuarakan aspirasi masyarakat daerah pemilihannya. Setiap saat ketika reses, pasti disempatkan berkunjung ke ladang suaranya. Jarang dia pulang ke rumah bapaknya. Dia merasa terpanggil memperjuangkan besarnya harapan rakyat yang semakin kerdil.
Anak kedua yang tidak suka banyak bicara, menghabiskan sebagian besar waktu dengan mencurahkan gagasan dalam lembar-lembar tulisan. Dimuat di berbagai media massa, tulisannya kerap kali menempati posisi artikel utama. Bahkan, tidak jarang menjadi rujukan para akademisi yang sedang meneliti. Bila lelaki tua itu rindu, diobatinya dengan membaca tulisan anaknya itu.
Di urutan ketiga, anaknya sedang menimba ilmu agama di luar kota. Suatu malam, dia pernah bermimpi, didatangi cahaya putih berkilat-kilat dan cahaya itu meninggalkan pesan padanya. "Kamu harus melayani kaum papa"
Entah kenapa, dia merasakan kedamaian disinari cahaya itu. Akhirnya, dia memutuskan mengosongkan diri dari carut marut kehidupan duniawi, merendahkan diri di hadapan Tuhan, dan memperdalam kapasitas ilmu untuk melayani kaum papa. Anak itu, paling rajin menanyakan kabar bapaknya.
Si bungsu, kesayangan ibunya, luntang-lantung tanpa pekerjaan di rumah pamannya di ibu kota. Selepas lulus SMA, dia tidak melanjutkan kuliah, karena tidak ingin membebani bapaknya. Dia memilih mengadu nasib di ibu kota.
***
"Terima kasih ya Pak, kirimannya sudah sampai" Pesan si sulung di grup keluarga. Disertai emoji bahagia. Dia senang sekali mendapatkan dasi bercorak api membara, berwarna merah menyala.
"Sama-sama, Nak. Bapak ingin, sesuai merahnya api itu, semangatmu tidak boleh padam berjuang membela rakyat. Jangan hanya karena uang, kamu silap mata. Kamu harus berani berkata iya di atas iya, tidak di atas tidak, demi kepentingan rakyat"