"Kukuk kukuk kukuk"
Seekor burung pelatuk keluar dari jam dinding. Berkepala merah, berparuh coklat, dan berkaki hitam. Kecil, tak lebih besar dari ukuran kepalan tangan lelaki dewasa.
Bila burung itu berbunyi, tanda malam menuju larut. Pertanda juga, kursi di sudut ruang itu akan diduduki. Seorang lelaki paruh baya paling menyukai saat itu.
Saat di mana dia bercumbu dengan keheningan, marah tanpa bersuara, sekaligus melepaskan kepenatan. Kursi dan meja di sudut itu seperti istri kedua baginya.
Istri pertama memaklumi. Suaminya memang butuh waktu menyendiri. Tuntutan pekerjaan dan anak buah yang menjengkelkan, hampir membuat dia bunuh diri. Bila takada kursi dan meja itu.
Istrinya menyadari, dia tak kuat bila menjadi suaminya. Dia tak kuat pula menghadapi curahan hatinya. Terlalu banyak yang harus diceritakan, sementara dia sibuk mengurus anaknya.
Karena itu, dibiarkan lelaki itu mendua. Tak lupa, dia siapkan sebungkus rokok dan segelas kopi, menemaninya bercinta.
"Astaga, kok bisa begini" Gumam lelaki itu. Di depan layar laptop dan segelas kopi setengah isi, dia menggerakkan jari jemari. Satu demi satu lembar diamati, dikoreksi, dihapus sesekali.
Malam itu, cerpennya hampir selesai. Rencananya, besok diunggah di platform blogging yang dia ikuti. Dia sosok orang yang cinta sastra, dan memilih menulis cerpen untuk mengekspresikannya.
Cerpennya biasa saja, takada yang hebat apalagi menjual. Hanya, kepuasan setelah menulis itu yang luar biasa. Ketika dia hampir gila setelah bekerja, cerpen bisa membuatnya waras kembali.