"Maju..maju...maju....!" Seorang wanita tua memberi aba-aba. Mobil berkap terbuka berwarna putih abu-abu itu perlahan merapat. Terparkir tepat di tepi selokan rumahnya.
"Braaakk" Sesosok lelaki lebih muda membuka pintu mobil. Bergegas turun dan beranjak ke bagian belakang. "Ayo turun" Beberapa anak terlihat patuh mendengarkan perintah.
Di atas kap itu, ada sepuluh anak. Enam perempuan dan empat laki-laki. Mereka rata-rata berumur sepuluh tahun. Putus sekolah. Satu per satu melompat ke tanah. Dilihatlah oleh lelaki itu, tiap-tiap pekerjanya. Dipastikan takada yang tertinggal di kota.
"Susi, mana setoran!" Susi lekas mengambil uang dari saku. Dua lembar uang lima puluh ribu. "Ini, Pak!"
Lelaki itu mengambil selembar dan selembar lagi dikembalikan. "Ini untuk kamu" Setelah menerima upah, Susi mengambil tas di teras rumah dan beranjak pulang.
"Anton, mana setoran?" Giliran Anton ditanya. Dia lesu sekali. Takada tanda-tanda semangat sore itu. Tisunya hanya separuh terjual. "Ini, Pak!" Diserahkan selembar lima puluh ribu.
"Gimana sih kamu, jualan aja gag beres" Suara lelaki itu meninggi. Anton hanya tertunduk. "Lain kali, harus lebih keras lagi kerjanya" Diberikanlah selembar dua puluh ribu dan selembar lima ribu kepadanya. Perjanjian di antara mereka, separuh untuk bos, separuh untuk pekerja.
Anton pun mengambil sepeda yang terparkir di garasi dan lekas pulang. Tak lupa, dia ucapkan terima kasih. "Terima kasih ya, Pak" Kendati dimarahi, dia tak pernah sakit hati. Lelaki itu satu-satunya harapan baginya.
Di tengah perjalanan pulang, Anton mampir ke warung nasi langganan. Tanpa bilang pesanannya apa, penjual warung langsung keluar dan menggantungkan dua bungkus nasi ke sepedanya. "Ini ya, ibu tambahin dua potong tempe goreng"
"Terima kasih banyak, Bu"Anton berucap sembari membayar. Setelah itu, cepat-cepat dia kayuh sepedanya.
***