Musim kemarau telah tiba. Hawa panas mulai menyengat. Tanah-tanah kembali tandus, tumbuhan meranggaskan daunnya. Setiap siang, desa itu bagaikan neraka. Panas sekali.
Jumlah pohon di sana bisa dihitung dengan jari. Para penduduk malas menanam, tetapi rajin menebang. Mereka menjual kayu ke desa seberang. Di sana, kayu mahal dan sangat laku. Karena sebagian besar penduduknya bekerja sebagai tukang kayu.
Persediaan air di tiap-tiap rumah semakin menipis. Tanah terasa pelit. Sungai di tengah desa kian mengering. Beberapa dari mereka terlihat sibuk siang itu.
"Udah ketemu, Pak?" Tanya Pak Budi kepada Pak Andi.
"Belum. Sama sekali tidak ada tanda-tanda"
"Saya juga Pak, dari tadi kukeruk, tetapi takada yang keluar" Pak Joko tiba-tiba menyahut. Mereka berusaha mencari sumber mata air baru. Berbekal cangkul, semakin dalam mereka gali tanah-tanah desa itu. Siang semakin panas. Semangat mulai terkuras.
"Horeeeee" Teriak Pak Dedi dari kejauhan. Mereka bertiga terkejut. Sebuah kelangkaan mendengar kegembiraan kala itu.
"Sudah ketemu, Pak Dedi?" Mereka mendekati. Tanpa menjawab, Pak Dedi menunjukkan galian dengan cangkulnya. Sebuah keajaiban. Air menyembur deras beberapa meter di depan rumah Pak Dedi. Sontak berita itu tersebar cepat.
Bak oase di padang gurun, penemuan mata air melenyapkan kesusahan mereka. Berpuluh-puluh ember mereka siapkan. Penduduk terjauh pun tak ketinggalan datang.
Sampai suatu ketika, debit air perlahan berkurang. Mereka mulai cemas, takut kehabisan. Sementara, takada lagi mata air ditemukan. Itu satu-satunya yang diandalkan.
Pak Budi bersiasat. "Bagaimana kalau kuambil air itu dini hari, pasti belum ada orang di sana" Perjanjian awal, mereka hanya boleh mengambil sejak pagi.