Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Liku-liku Berdagang Ikan

Diperbarui: 29 Oktober 2020   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: republika.co.id

"Pernahkah kamu bertemu seorang pedagang, yang menjual barang, dengan mengambil sedikit untung?" Bila pernah, kamu pasti berlangganan di sana. Aku yakin, kamu tidak mau dirugikan saat membeli, bukan?

Biasanya, harga lebih murah bila kamu membeli banyak. Atau, pedagang menjual banyak. Harga grosir pasti lebih miring dibanding eceran. Barang grosir juga lebih cepat laku daripada eceran. Ukuran rumitnya, perputaran persediaan (inventory turnover).

Aku pernah belajar akuntansi. Satu bidangnya bernama akuntansi biaya. Di sana, dipelajari apa saja yang membentuk harga jual. Selain modal membeli barang dan untung yang dikehendaki, ada biaya penyimpanan, listrik, upah tenaga kerja, penjemputan dan pengantaran, dan lainnya. Itulah sebabnya partai besar lebih murah. Seluruh biaya dibebankan sekaligus untuk banyak barang.

Adalah seorang pedagang ikan bernama Susi. Dia masih belia, belum lama makan asam garam di dunia ini. Dia berlatih berdagang dari ibunya, yang lebih dulu berkecimpung. Iya, ibu telah sepuluh tahun berdagang ikan.

Menempati sebuah kios kecil di samping kuburan, mereka berdagang ikan berjenis predator dan bersifat agresif. Mereka tidak sendiri. Kiosnya menempati urutan pertama dari deretan kios para penjual ikan di sana.

Ibu tidak pernah mengenyam akuntansi biaya. Hanya bermodal kira-kira, tanpa catatan pasti. Tetapi, usaha mereka tetap bertahan tanpa merugi. Bahkan, kiosnya salah satu yang terlaris di sana.

"Kamu mau tahu kiatnya? Barangkali, kamu mau jualan ikan juga?" Ibu menanamkan baik ilmunya kepada Susi.

"Nak, kalau jualan, kamu tidak perlu mengambil untung banyak. Untung sedikit, yang penting barang cepat laku" 

"Pasti kamu berpikir, mereka jualan partai besar ya?" Tidak, mereka mengecer. Hanya, ibu tidak tega mencekik orang dengan harga selangit. Ibu percaya, berdagang tidak untuk menguntungkan diri sendiri, tetapi semua orang. Itu pesan nenek. Cerita ibu.

Ilmu itu memang baik bagi mereka dan pembeli. Tetapi, tidak disukai pedagang sekitarnya. Mereka dicap sebagai penghancur harga, karena tidak mau bekerja sama menetapkan satu harga. Hanya sebab ibu yang lebih senior di sana, mereka tidak berani mendamprat Susi.

"Mbak, ini berapa harganya?" Tanya seorang pemuda yang singgah di kios mereka. Matanya melirik bibit ikan Oscar batik hitam, berukuran tiga sentimeter. Kira-kira beratnya seratus gram.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline