Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Mengemis Takada di Kamusku

Diperbarui: 24 November 2020   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber:manado.tribunnews.com

Kalau semua orang diperbolehkan meminta kepada Tuhan, ingin dilahirkan di mana, aku pasti menjadi orang pertama yang menolak dilahirkan di sini. Tinggal sebagai anak pertama dari keluarga broken home, di kontrakan reot beratap bocor ini.

Adikku ada tiga. Adikku yang pertama menginjak SMP tahun ini, kedua masih sekolah dasar, sementara si bungsu baru masuk TK. Jangan pernah kau tanya ayahku ke mana. Pilu kalau aku menjelaskan padamu. Hina menyebut namanya di keluarga kami.

Ibu berjualan roti pagi hingga sore. Setelah mengantar adikku sekolah, ibu mendatangi orang dari rumah ke rumah, menawarkan roti dagangan. Keuntungannya hanya cukup untuk makan kami. Sementara untuk bayar kontrakan dan biaya sekolah adikku, aku yang menanggungnya.

Iya, kuputuskan untuk tidak melanjutkan kuliah karena tidak ada dana. Aku melamar dengan ijazah SMA, sebagai buruh di sebuah perusahaan keluarga. Gajiku kembang kempis untuk menutupi kebutuhanku. Semua sudah terpakai untuk keluargaku.

Aku ikhlas. Bangga. Sebagai penggantinya (maaf, aku tak sudi menyebut ayah), aku bisa menafkahi adik dan ibuku. Tidak bermaksud sombong, tetapi hanya itu yang bisa kubanggakan.

Suatu malam, seusai bekerja, aku menyantap nasi goreng di pinggir jalan dekat kantor. Malam itu nasinya enak, pedas, dan gurih. Si abang paham benar seleraku.

Sembari mengunyah, kulayangkan pandangan ke salah satu toko kelontong di sudut perempatan jalan. Pembelinya ramai sekali, dan ada sesosok wanita tua bersama anak kecil terlihat mengemis di sana.

Kukedipkan mata berkali-kali. Kuhentikan sejenak kunyahan dan kusorot benar sosok wanita itu. Sepertinya aku kenal postur dan gerak-geriknya. Segera kudatangi mereka.

"Ibuuuuu, ngapain ibu di sini? Ayo pulang!" Aku menarik tangan ibu dan Dodi sekencang-kencangnya. Kami bertiga pulang ke rumah. Di rumah, kuinterogasi mereka.

"Aku tidak suka melihat ibu bersama Dodi mengemis. Kita boleh kekurangan, boleh pula tidak makan, tetapi jangan sampai mengemis. Aku tidak suka mendapatkan uang dengan menjual iba" Sergahku. Aku naik pitam di depan ibu.

"Tapi nak, ibu kasihan samamu. Ibu hanya mau cari tambahan penghasilan dan meringankan bebanmu" Ibu mencoba memberi alasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline