Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Rindu Hujan (Bagian I)

Diperbarui: 8 Desember 2020   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber:https://depok.pikiran-rakyat.com

Pagi ini hujan. Tepat pukul enam, saat semua orang sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri untuk berangkat kerja, tetesan air mulai deras membasahi tanah di jalan depan. Seketika, beberapa orang yang berjalan di trotoar terlihat menepi di depan toko tetangga sembari membuka tasnya. Mengeluarkan payung yang telah dipersiapkannya di awal musim penghujan ini.

Sementara itu, pengendara motor juga berkelakuan sama. Mereka menghentikan motor, menepi pula di toko yang sama, dan mengeluarkan jas hujan. Para pedagang mainan pun ikut meramaikan teras toko itu bersama gerobak jualannya. Iya, hujan kala pagi itu membuat banyak orang kesulitan mengawali hari.

Namun, berbeda dengan kakakku. Setiap terdengar bunyi air di atap rumah, segeralah dia menepikan diri di dekat jendela di ruang keluarga. Pagi itu, dengan raut muka bantal dan belum mandi, bergegas dia membawa guling kesayangannya dan secangkir teh panas untuk melamun bersama hujan.

Namanya Sinta. Kakak pertamaku yang belum menikah di usia yang boleh dibilang sudah cukup untuk menikah. Kebiasaan ini akhir-akhir ini sering dilakukannya, semenjak kekasihnya bertugas di luar kota.

"Kak, kenapa sih suka sekali melihat hujan?" tanyaku.

"Jangan ganggu kakak, dek." jawabnya. Pandangan matanya terlihat tidak berhenti melihat hujan yang menari-nari bersama angin.

Aku kesal jawabannya tidak berubah. Ibu pun sering sekali dibuat jengkel olehnya hingga naik darah. Bagaimana tidak? Selama hujan belum berhenti, selama itu pula dia tidak beranjak dari pinggir jendela. Tidak bisa dimintakan bantuan untuk bersih-bersih rumah.

Di usia ke 36 tahun ini, sifat kakakku berubah drastis. Biasanya suka bercerita, sekarang lebih banyak diam. Biasanya suka menyapa pertama kali, sekarang boro-boro menyapa, disapa saja tidak membalas. 

"Apa mungkin ada masalah dengannya?" gumamku dalam hati.

Hujan akhirnya berhenti. Satu setengah jam terlewati, satu setengah jam pula dia duduk tiada henti. Bergegaslah dia masuk ke kamar, diambilnya pulpen dan buku hariannya, dan mulailah dia menulis. Aku pun diam-diam mengikuti.

"Nulis apa lagi kak, dapat inspirasi ya dari hujan?" tanyaku sembari berusaha mengintip apa yang ditulis. Kami memang tidur satu kamar, hanya berbeda tempat tidur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline