Lihat ke Halaman Asli

Tentang Menteri Investasi dan Menteri Ekspor

Diperbarui: 15 Maret 2019   14:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada kampanye Pilpres 2014, Capres Joko Widodo melontarkan gagasan tentang rencana pembentukan BADAN TERSENDIRI YANG MENGURUSI MASALAH PERPAJAKAN, konon suatu badan yang berada langsung di bawah presiden terpisah dari kementerian keuangan. Pada saat itu, saya salah satu orang yang tidak yakin gagasan itu dapat diwujudkan.

Mengapa? Karena dalam regim hukum keuangan negara yang berlaku di negeri ini, menteri keuangan berkedudukan sebagai BENDAHARA UMUM NEGARA. Dan pada jabatan bendahara umum negara itu melekat wewenang untuk melakukan penagihan serta penerimaan pembayaraan atas keuangan negara. Konon, gagasan itu pernah dibawa ke parlemen namun hingga kini tidak jelas ujung pangkalnya bahkan ketika masa jabatan Presiden Joko Widodo sudah hampir berakhir....

Kini, Presiden Joko Widodo melontarkan gagasan akan membentuk MENTERI INVESTASI dan MENTERI EKSPOR apabila dirinya terpilih lagi untuk periode kedua. Gagasan untuk membentuk kedua pos menteri itu tampaknya dipicu oleh kegalauan Presiden Joko Widodo melihat fakta rendahnya realisasi ekspor Indonesia selama masa pemerintahannya. Tak sedikit pihak yang menyangsikan relevansi gagasan tersebut. Argumennya, realisasi ekspor adalah masalah struktural dan bukan masalah institusional (kelembagaan). Bagaimana sesungguhnya duduk masalahnya?

Hemat saya, gagasan Presiden Joko Widodo untuk membentuk menteri investasi dan menteri ekspor hendaknya direspons oleh orang-orang di sekitarnya sebagai kehendak Presiden untuk merumuskan arah kebijakan perekonomian nasional secara lebih jelas dan lebih koheren. Dan yang struktural dan yang institusional tidak harus dilihat secara dikotomis. Sebab formulasi kerangka institusional tak jarang adalah cerminan sikap yang diambil terhadap hal-hal struktural. Kita tahu Jepang mengukir kisah gemilang dalam hal industrialisasi orientasi ekspor (IOE) dengan memberikan peran yang dominan terhadap Ministry of International Trade and Industry (MITI).

Selama hampir lima tahun ini Pemerintahan Joko Widodo fokus kepada pembangunan infrastruktur, terutama jalan-jalan tol, bandara-bandara, dan pelabuhan-pelabuan laut. Tentu saja pilihan kebijakan yang demikian tidak serta-merta salah. Yang menjadi soal adalah fakta bahwa infrastruktur adalah hal yang bersifat intensional, selalu terarah kepada sesuatu hal di luar dirinya.

Infrastruktur [untuk tujuan] apa? Demikian pertanyaan yang [mestinya] segera muncul setiap kali kita terlibat dalam perbincangan tentang infrastrukur. Dengan kata lain, INFRASTRUKTUR TIDAK PERNAH MENJADI TUJUAN AKHIR PADA DIRINYA SENDIRI! Oleh karena itu, agenda yang tak kunjung hadir dalam diskursus publik selama ini sepanjang menyangkut pembangunan infrastruktur adalah: KEBIJAKAN EKONOMI YANG BERCORAK BAGAIMANA yang hendak diberlakukan di atas infrastruktur-infrastruktur itu?

Kini, Presiden Joko Widodo melontarkan gagasan akan membentuk menteri investasi dan menteri ekspor apabila dirinya terpilih kembali menjadi Presiden RI untuk periode 2019-2024. Hemat saya, gagasan tersebut hendaknya dipahami sebagai keinginan Presiden Joko Widodo untuk memberlakukan suatu kebijakan ekonomi yang lebih bercorak industrialisasi orientasi ekspor (IOE).

Secara sederhana, IOE dapat diartikan sebagai suatu kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk memproduksi barang-barang untuk memenuhi permintaan pasar dunia. IOE biasanya dipandang sebagai alternatif terhadap industrialisasi substitusi impor (ISI), yakni suatu kebijakan ekonomi yang lebih ditujukan untuk memproduksi barang-barang dalam rangka memenuhi permintaan pasar dalam negeri.

Ada setidaknya dua hal yang tak selayaknya luput dari perhatian dalam setiap perbincangan tentang kebijakan ekonomi pada masa kini. Kebijakan ekonomi pada dasarnya berkisar di seputar masalah inter-play antara negara vis--vis pasar. Dan kebijakan industri, termasuk kebijakan IOE, pada akhirnya menyangkut CAMPUR TANGAN NEGARA DALAM PEREKONOMIAN.

Oleh karena itu, agenda utama yang harus dituntas terlebih dahulu adalah SIKAP YANG TEGAS TERHADAP NEOLIBERALISME yang mendominasi arus ekonomi-politik global dewasa ini. Sepanjang decision-makers tidak ma[mp]u mengambil jarak terhadap arus neoliberalisme seraya pada saat yang sama menggagas kebijakan ekonomi alternatif, maka segalanya akan sebatas wacana. Sudah bukan rahasia lagi betapa neoliberalisme sejak dari 'sono'-nya sungguh mengharamkan campur tangan negara dalam perekonomian. Itu hal yang pertama!

Hal yang kedua adalah menyangkut dimensi sosial-politik IOE. Rasanya tidak perlu argumen yang serba panjang lebar untuk mempermaklumkan betapa kebijakan ekonomi tidak melulu soal ekonomi. Sebagaimana kebijakan publik pada umumnya, kebijakan IOE juga niscaya akan bersentuhan dengan faktor-faktor sosial-politik di dalam masyarakat mana kebijakan itu diberlakukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline