Lihat ke Halaman Asli

Menimbang Statement RG di Bawah Norma Pasal 156A KUHP

Diperbarui: 2 Februari 2019   02:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pasal 156a KUHP selengkapnya berbunyi: 

"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."

Dengan demikian, ada dua gugus peristiwa yang dilarang oleh Pasal 156a KUHP, yaitu: 1). menyatakan sikap permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap SUATU AGAMA yang dianut di Indonesia; 2). perbuatan agar supaya ORANG TIDAK MENGANUT AGAMA apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Masa Esa.

Dari rekaman video yang ada kita dapat melihat/mengetahui bahwa RG terlebih dahulu memerinci unsur-unsur/sifat-sifat dari fiksi, yaitu: literatur, sangat bagus, energi untuk mengaktifkan imajinasi, belum terjadi, kreatif, energi untuk tiba di telos (ujung kitab suci). Selanjutnya, RG menyatakan kurang-lebih sebagai berikut:

"Jika fiksi adalah energi untuk mengaktifkan imijinasi, maka kitab suci adalah fiksi."

Apakah pernyataan itu dapat digolongkan sebagai pernyataan sikap permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap SUATU AGAMA yang dianut di Indonesia? Tentu saja TIDAK, karena tidak menunjuk SUATU AGAMA tertentu sebagaomana dikehendaki rumusan Pasal 156a KUHP. Bahkan, ketika salah seorang peserta diskusi bertanya: "Kitab suci mana yang anda maksud?", RG dengan tegas menyatakan: "Saya tidak mau menjawab!" Artinya, pada diri RG kala itu TIDAK TERDAPAT UNSUR SENGAJA untuk menyatakan sikap permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap SUATU AGAMA yang dianut di Indonesia.

Adakah RG kala itu mempunyai "maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."? Sulit untuk mengatakan demikian! Sebab, ketika memerinci unsur-unsur/sifat-sifat dari fiksi, tak satu pun unsur-unsur/sifat-sifat tersebut bernuansa buruk sedemikian sehingga orang akan terdorong untuk tidak menganut agama yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Sebaliknya, RG menyebutkan bahwa fiksi itu SANGAT BAGUS, KREATIF, ENERGI UNTUK MENGAKTIFKAN IMAGINASI, ENERGI BAGI KITA UNTUK TIBA PADA TELOS.

Dengan kata lain, statement RG tersebut di atas sama sekalu TIDAK MEMENUHI salah satu atau pun kedua-duanya dari dua gugus peristiwa yang dilarang oleh Pasal 156a KUHP. Perlu kiranya kita ingat bahwasanya INTERPRETASI EKSTENSIF dan INTERPRETASI ANALOGI lazimnya dianggap sebagai hal yang TERLARANG DALAM HUKUM PIDANA,-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline