Sisi positif dari kegaduhan di seputar gaji para petinggi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) adalah promosi gratis tentang keberadaan BPIP. Institusi ini memang praktis tidak diketahui 'ngapain aja' sejak dibentuk setahun yang lalu dengan nama Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP). Mungkin lembaga ini agak gamang dalam menjalankan peran dan fungsinya.
Yah, gamang karena tidak mau disamakan dengan BP-7 ( Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), suatu lembaga yang dikenal sebagai badan indokrinasi Pancasila a la Orde Baru. Lalu apa yang membedakan BPIP dengan BP-7?
Pasal 3 Perpres No.: 7/2018 menyatakan: "BPIP mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya."
Akan tetapi, entah karena kurangnya sosialisasi, entah karena memang belum melakukan apa-apa; kiprah dan hasil kerja BPIP memang praktis belum terdengar hingga merebak kegaduhan di seputar gaji para personelnya.
Barangkali pertanyaan mendasar yang segera menggoda adalah: masihkah relevan bicara ideologi pada masa kini? Bukankah Daniel Bell pada dekade 1960an telah menulis buku The End of Ideology (Free Press, 1960) dan disusul oleh Francis Fukuyama dengan buku The End of History and the Last Man (Free Press, 1992) yang pada intinya hendak menegaskan bahwa gagasan-gagasan besar semacam ideologi telah menjadi barang usang?
Tidak perlu penjelasan yang serba panjang lebar untuk menyatakan bahwa setiap dalil yang menyangkal relevansi ideologi sesungguhnya adalah dalil yang bersifat ideologis pula. Oleh karena itu perlu disikapi secara saksama dan berhati-hati!
Tampaknya perlu diperjelas bahwa yang dimaksud dengan ideologi di sini tidaklah identik dengan apa yang sering kita kenal sebagai "isme-isme". Agaknya lebih membantu apabila kita mendengar Gran Therborn, sosiolog asal Swedia, ketika mengartikan ideologi sebagai seperangkat gagasan yang membentuk kesadaran individu-individu sehingga individu-individu tersebut menjadi subyek yang sadar dalam suatu tatanan sosial tertentu tentang apa yang ada dan apa yang tidak ada, apa yang baik dan apa yang buruk, serta apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin (Gran Therborn, The Ideology of Power and the Power of Ideology. London: Verso, 1980).
Dalam artian yang demikian, ideologi kurang-lebih berfungsi sebagai kacamata dalam melihat realitas sehingga realitas tampak lebih berwarna sekaligus sebagai bintang pamandu arah dalam suatu perjalanan panjang. Dengan kata lain, ideologi tetap sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari kita saat ini bahkan juga nanti. Begitu juga halnya dengan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di negeri ini.
Menurut hemat saya, ada setidaknya LIMA GUGUS PERSOALAN yang menjadi agenda kerja utama BPIP. Yang pertama adalah hal-hal yang berhubungan dengan MEMBUMIKAN GAGASAN yang terkandung dalam masing-masing sila dalam Pancasila. Hal-hal yang termasuk dalam gugus persoalan ini antara lain adalah:
1. Hakikat manusia (apakah manusia menurut Pancasila adalah makhluk individual ataukah makhluk sosial),
2. Sifat kepemilikan (apakah kepemilikan menurut Pancasila adalah kepemilikan pribadi ataukah kepemilikan secara kolektif), dan