Menyusul ditangkapnya mantan Dirjen Pajak, Hadi Purnomo, baru-baru ini barangkali kita masih ingat bagaimana Jokowi menyatakan kepada pers akan menjadikan urusan perpajakan menjadi kementerian tersendiri. Selanjutnya, pada debat perdana Capres-Cawapres Tahun 2014 baru-baru ini Joko Widodo secara terbuka menyatakan akan mempergunakan politik anggaran untuk "memaksa" pemerintah daerah untuk patuh pada pemerintah pusat.
Kedua hal tersebut di atas sesungguhnya patut mendapat perhatian secara khusus, mengingat kedua hal itu menyangkut isu ekonomi yang cukup sentral: kebijakan fiskal negara.
Sehubungan dengan gagasan Joko Widodo untuk menjadikan urusan perpajakan menjadi kementerian tersendiri, hendaknya kita ingat betapa setidaknya ada 3 UU yang menjadi kendala bagi realisasi gagasan tersebut, yakni: UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Kementerian Negara.
Kalau UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara secara tegas-tegas merumuskan kedudukan dan wewenang Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara dengan wewenang a.l.merumuskan kebijakan penerimaan dan penguaran negara, melakukan penagihan piutang negara, serta menyimpan harta kekayaan negara; maka UU Kementerian Negara berisi pengaturan tentang kementerian yang dapat dibentuk oleh Presiden. Di sana ditegaskan bahwa urusan keuangan adalah salah satu pos kementerian yang ruang lingup tugasnya secara tegas-tegas disebutkan dalam UUD 1945, di mana urusan keuangan menjadi wewenang menteri keuangan sebagai pengelola fiskal sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Keuangan Negara.
Oleh karena itu, mencermati secara sepintas lalu saja niscaya kita akan memahami betapa dalam konteks UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Kementerian Negara TIADA RUANG YANG TERSEDIA UNTUK MEMBENTUK KEMENTERIAN PERPAJAKAN.
Bagaimana halnya dengan gagasan untuk mempergunakan anggaran sebagai alat untuk "memaksa" pemerintah daerah untuk mematuhi pemerintah pusat?
Tentu saja kita harus mengingat betapa ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945 pasca-amandemen sarat dengan gagasan otonomi daerah. Bahkan, Pasal 18B secara tegas-tegas menyatakan: "Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang." Sebagai pelaksanaan lebih lanjut ketentua Pasal 18B UUD 1945 ini, kita pun kita mengenal UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Dengan demikian, gagasan Joko Widodo untuk memberlakukan "politik anggaran" untuk "memaksa" pemerintah daerah untuk mematuhi pemerintah pusat, tidak saja akan menimbulkan sengketa konstitusional antara pemerintah pusat vis-a-vis pemerintah daerah, akan tetapi akan membuka kemungkinan bagi DPR untuk mempergunakan Pasal 7B untuk menggagas pemberhentian presiden.
Terlepas dari itu, gagasan Joko Widodo tentang "politik anggaran" tentu saja menjadi informasi bagi kita untuk mengetahui pemahaman Joko Widodo tentang anggaran dan hubungan pusat-daerah. Walau telah dihapuskan seiring dengan amandemen UUD 1945, tampaknya, Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 patut kita simak guna mendapatkan gambaran tentang makna anggaran dalam praktek kehidupan bernegara. "Cara menetapkan anggaran pendapatan dan belanja adalah ukuran bagi sifat pemerintahan negara. Dalam negara yang berdasarkan fasisme, anggaran itu ditetapkan semata-mata oleh Pemerintah. Tetapi, dalam negara demokrasi atau dalam negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, seperti Republik Indonesia, anggaran pendapatan dan belanja itu ditetapkan dengan Undang-Undang. Artinya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Betapa cara Rakyat --sebagai bangsa-- akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh Rakyat itu sendiri dengan perantaraan Dewan Perwakilannya. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya..."
Dua hal krusial di atas mengingatkan saya pada cerita Jusuf Wanandi, --salah satu pendiri CSIS--, bagaimana orang-orang yang berada "di sekitar" Jenderal Soeharto lebih banyak berperan pada masa-masa awal pemerintahannya, terutama ketika menghadapi Sidang Umum MPR tahun 1968 (Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia, 1965-1998. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014).
Ketika hal seperti itu terjadi, maka kehidupan bernegara pun sesungguhnya telah dikendalikan oleh sejenis komplotan politik rahasia (political cabal) dari balik kelambu bernama demokrasi prosedural,-