Lihat ke Halaman Asli

Menimbang Revolusi Mental: Suatu Catatan

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Kompas)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas)"][/caption] Sejak awal, saya bertanya-tanya di dalam hati tentang gagasan Revolusi Mental yang dikemukakan oleh Capres Joko Widodo. Bukan oleh hal-hal yang bersifat subyektif apalagi a priori, melainkan lebih karena muatan yang terkandung dalam gagasan itu beserta implikasi praktis yang mungkin akan ditimbulkannya. Barangkali kita sepakat bahwa pada tingkat kehidupan yang bersifat personal, orang-orang Indonesia termasuk orang yang memegang teguh kaidah-kaidah kesopanan. Persoalan baru muncul ketika memasuki tingkat kehidupan yang lebih luas, yakni pada apa yang disebut sebagai "public sphere". Mengapa demikian? Tidak diperlukan pengamatan yang serbailmiah untuk mengetahui betapa penyebabnya lebih terletak pada sistem organisasi sosial dan landasan material masyarakat kita daripada kadar moralitas ataupun sikap mental yang bersifat personal. Mengapa masyarakat kita yang dikenal sebagai penyabar justru tidak mengembangkan budaya antre ketika menunggu dan/atau memasuki kendaraan umum sebagaimana dapat kita saksikan di Singapura, misalnya? Jawabannya, menurut pengamatan saya, adalah karena tiadanya jaminan berapa lama lagi kendaraan umum berikutnya akan berlalu, dan tiada pula jaminan bahwa kendaraan umum berikutnya akan datang dengan tempat duduk yang lowong. Demikian pula halnya dengan kehendak untuk membudayakan naik sepeda dalam kehidupan sehari-hari di perkotaan akan sangat sulit terwujud selama trotoar sepanjang jalan di perkotaan yang bersangkutan tidak menjadi lintasan yang nyaman bagi pengendara sepeda serta selama petugas lalu-lintas menjadi makhluk langka dalam menata arus lalu-lintas di jalan raya. Antrean yang tertib ketika membagikan bantuan kepada korban bencana akan sangat sulit terwujud selama tiadanya jaminan bahwa orang pada antrean terakhir pun pasti akan mendapatkan bagian dengan jumlah dan mutu yang sama dengan yang diterima oleh mereka yang berdiri pada atrean terdepan. Masih banyak contoh yang bisa kita sebutkan untuk membuktikan betapa pokok soalnya bukanlah pada sikap mental yang bersifat pribadi, melainkan pada sistem organisasi sosial dan landasan material masyarakat kita! Oleh karena itu, sejak awal, saya melihat bahwa Revolusi Mental yang dimaksudkan oleh Joko Widodo adalah usulan solusi untuk persoalan yang sesungguhnya terletak pada wilayah kehidupan antar-pribadi, namun hendak diselesaikan dengan mengutak-utik wilayah kehidupan pribadi. Hal yang lebih problematik akan segera terasa ketika kita memahami agenda Revolusi Mental dalam konteks dualitas "public sphere" dan "private sphere". Menurut Mats G. Hansson, ---Ahli Filsafat dari Uppsala University, Swedia---, "The private sphere is a zone of non-interference, which is separate from others, a protected zone specially set aside for the individual or the family." (Mats G. Hansson, The Private Sphere: An Emotional Territory and Its Agent. Heidelberg, Germany: Springe, 2007, hal. 2). Pada bagian lain, Hansson menegaskan bahwa "The private sphere is the one which other people have no right to infringe." (Mats G. Hansson, The Private Sphere: An Emotional Territory and Its Agent. Heidelberg, Germany: Springe, 2007, hal. 15). Adapun yang dimaksud dengan "public sphere" menurut Jurgen Habermas, ---Ahli Filsafat tersohor asal Jerman---, adalah: "A domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed where citizens...deal with matters of general interest without being subject to coercion...to express and publicize their views." (Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge, MA.: The MIT Press, 1989, hal. 105). Pembedaan antara "private sphere" di satu pihak dengan "public sphere" di pihak lain, konon, adalah landasan sosial bagi perkembangan demokrasi modern, setidaknya sebagaimana diperlihatkan oleh sejarah kebudayaan Eropa. Secara singkat, kiranya, dapat dikatakan betapa "public sphere" adalah wilayah yang membuka kemungkinan kepada setiap orang untuk berpartisipasi guna memperbincangkan hal-hal yang memang menjadi urusan pulik; sedangkan "private sphere" adalah wilayah di mana seseorang berhak atas "privacy" untuk hal-hal yang memang menjadi urusan pribadi atau keluarganya, yang tidak bebas dimasuki oleh pihak lain, termasuk oleh negara sekali pun. Revolusi, lazimnya, diartikan sebagai perubahan yang bersifat mendasar yang berlangsung dalam rentang waktu yang relatif singkat (Theda Skocpol, States and Social Revolution. Cambridge, MA.: Harvard University Press, 1979). Adapun mental, menurut Wikipedia: "...refers to aspects of, or things related to, the mind." Oleh karena itu, Revolusi Mental dapatlah kita artikan sebagai perubahan mendasar yang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat pada hal-hal yang menyangkut sikap-mental ataupun cara berpikir. Pada titik ini kita segera berhadapan dengan setidaknya dua hal: 1. penentuan cara dan tujuan; 2. dasar legitimasi perubahan itu sendiri. Sepanjang menyangkut cara dan tujuan, pertanyaan yang tentu saja absah untuk diajukan adalah apakah tujuan dan cara-cara yang hendak ditempuh untuk mencapai tujuan Revolusi Mental telah dirumuskan secara demokratis? Pertanyaan yang demikian menjadi relevan mana kala kita mengingat gagasan ahli hukum Roscoe Pound tentang the role of law as a tool of social engineering yang dipandang sebagai sarat muatan yang bersifat ideologis, bahkan sebagai imperalisme dalam bentuk yang baru. Dalam konteks dualitas "private sphere" dan "public sphere", kiranya kita dapat memahami betapa hal-hal yang hendak direvolusi oleh Joko Widodo berada pada domain "private sphere." Oleh karena itu, pertanyaan yang layak untuk diajukan adalah sejauhmana dapat dibenarkan campur-tangan negara terhadap hal-hal yang sesungguhnya bersifat privat? Apabila kehadiran negara dalam hal-hal yang bersifat privat terjadi, tidakkah hal itu akan berujung pada sosok negara yang teramat dominan dan serba-hadir alias TOTALITER vis-a-vis warga negara? Ketika agenda Revolusi Mental diwujudkan ke dalam kurikulum pada berbagai tingkatan pendidikan, tidakkah pendidikan akan mewujud menjadi arena indoktrinasi sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru dengan P4-nya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline