Lihat ke Halaman Asli

Menghitung Peluang Prabowo-Hatta di MK

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada setidakya dua gugus persoalan yuridis yang akan dihadapi oleh Pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Hatta dalam pemeriksaan perkara perselisihan hasil Pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi: 1). persoalan yang menyangkut formalitas berperkara; dan 2). persoalan di seputar substansi perkara itu sendiri.
Kalau persoalan yang pertama akan menampilkan diri dalam bentuk pertanyaan “legal standing” untuk mengajukan penyelesaian sengketa di MK; maka yang gugus persoalan yang kedua berhubungan dengan pembuktian tentang unsur-unsur Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) dalam kesalahan penghitungan suara yang berakibat signifikan terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon, di mana Pemohon berada pada posisi dirugikan.
Persoalan di seputar “legal standing” tampaknya akan dimunculkan pada bagian eksepsi (tangkisan), mengingat silang pendapat yang sampai kini masih terjadi menyangkut makna dan implikasi pidato Prabowo Subianto pada tanggal 22 Juli 2014 yang lalu. Tanpa berniat untuk menjadi partisan, saya berpendapat bahwa segenap persoalan dalam sengketa Pilpres haruslah DILETAKKAN DAN DIUKUR DALAM KERANGKA ASAS LEGALITAS, dan bukan oleh “public opinion” yang lebih banyak beraroma “wishful-thinking”. Dalam alur berpikir yang demikian, hendaknya dipahami bahwa kedudukan, hak dan kewajiban para pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2014 bersumber dari Keputusan KPU No.: 435/Kpts/KPU/Tahun 2014 tertanggal 31 Maret 2014 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014. Oleh karena itu, SEPANJANG BELUM PERNAH DIBATALKAN, DICABUT, ATAUPUN DIUBAH; maka setiap pasangan calon yang tercantum dalam Keputusan KPU tersebut masih mempunyai kedudukan yang sah sebagai pasangan capres-cawapres dengan segala hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan itu.
Fakta yuridis yang tak terbantahkan adalah bahwa SEPANJANG KLAUSULA MENYANGKUT PASANGAN PRABOWO-HATTA, Keputusan KPU No.: 435/Kpts/KPU/Tahun 2014 BELUM PERNAH DIBATALKAN, DICABUT, ATAUPUN DIUBAH, BAIK OLEH KPU SENDIRI MAUPUN OLEH MEKANISME PERADILAN YANG BERWENANG UNTUK ITU. Oleh karena itu pula, maka Pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Hatta SUNGGUH-SUNGGUH MEMPUNYAI “LEGAL STANDING” untuk mengajukan permohonan penyelesaian sengketa hasil Pilpres 2014 ke MK.
Gugus persoalan kedua yang harus dihadapi oleh Pasangan Prabowo-Hatta adalah pembuktian tentang unsur-unsur Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) dalam kesalahan penghitungan suara yang berakibat signifikan terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon. Sesungguhnya, istilah Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) tidak ditemukan dalam UU No.: 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 201 ayat (2) UU No.: 42/2008 selengkapnya berbunyi: “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.” Sedangkan Penjelasan Pasal 201 ayat (2) ini berbunyi: “Cukup Jelas.” Akan tetapi, dalam berbagai putusan MK tentang penyelesaian sengketa hasil pemilu, unsur-unsur Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) beserta signifikansinya terhadap hasil akhir perolehan suara masing-masing pasangan calon telah menjadi hal yang mutlak untuk dibuktikan oleh pemohon untuk memenangkan perkara di MK.
Tentu menjadi pertanyaan: apa yang dimaksud dengan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM)? Jika term-term tersebut dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang lebih lazim digunakan, tampaknya tidak berlebihan untuk mengartikan Terstruktur sebagai TERSUSUN, Sistematis sebagai TERATUR, dan Masif sebagai MELUAS; maka upaya Terstruktur, Sistematis, dan Masif kurang-lebih dapat diartikan sebagai upaya yang TERSUSUN SECARA TERATUR YANG DILAKUKAN SECARA MELUAS.
Pertanyaan yang layak diajukan adalah: apakah terdapat UPAYA YANG TERSUSUN SECARA TERATUR YANG DILAKUKAN SECARA MELUAS yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon dalam Pilres 2014?
Bagi yang menyimak Rapat Pleno KPU tentang Rekapitulasi hasil Pilpres 2014 sangatlah terasa betapa salah satu isu yang menonjol dalam Rapat tersebut adalah pemilih yang tercantum dalam Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) di berbagai daerah. Pemilih dalam DPKTb ini telah menimbulkan dugaan terjadinya penggelembungan jumlah pemilih. KPU/KPUD tersendiri memberikan alasan bahwa besarnya pemilih dalam DPKTb disebabkan oleh tingginya mobilitas penduduk di berbagai daerah serta kesulitan petugas pendaftar pemilih untuk memasuki rumah-rumah dan/atau menemukan warga di pemukiman mewah di berbagai kawasan perkotaan. Demikian pula nama-nama orang yang telah meninggal dunia serta telah berpindah domisili pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebagaimana diduga terjadi di Pulau Nias, Sumatra Utara adalah salah satu persoalan yang sempat mengganjal dalam Rapat Pleno KPU sampai dengan tanggal 22 Juli 2014. Dari sebarannya, kedua modus pemilih tersebut dapat dikatakan terjadi secara meluas. Pada titik ini, tampaknya, UNSUR MASIF relatif mudah dibuktikan!
Apakah upaya tersebut TERSUSUN (Terstruktur) SECARA TERATUR (Sistematis)? Pada titik ini, Pasangan Prabowo-Hatta melalui Tim Kuasa Hukum-nya perlu membuktikan adanya NIAT, PERENCANAAN, dan PELAKSANAAN rencana itu baik sebelum, pada saat, dan setelah pemungutan suara.
Pertanyaan berikutnya YANG PALING KRUSIAL adalah: apakah UPAYA YANG TERSUSUN SECARA TERATUR YANG DILAKUKAN SECARA MELUAS itu MEMPENGARUHI PENENTUAN TERPILIHNYA Pasangan Calon? Dengan kata lain, APAKAH ADA HUBUNGAN KAUSAL antara UPAYA Terstruktur, Sistematis, dan Meluas itu DENGAN HASIL PERHITUNGAN SUARA yang pada akhirnya MEMPENGARUHI PENENTUAN TERPILIHNYA PASANGAN CALON tertentu? Pada titik ini kita berhadapan dengan persoalan hubungan sebab-akibat dalam lapangan ilmu hukum.
Dalam kepustakaan ilmu hukum kita dapat menemukan adanya dua varian teori tentang hubungan sebab-akibat, yaitu: 1). Teori Conditio Sine Qua Non; dan 2). Teori Adequate Veroorzaking.
Teori Conditio Sine Qua Non yang dikemukakan oleh von Bury pada intinya menyatakan bahwa suatu hal adalah sebab dari suatu akibat, apabila akibat itu tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Teori Conditio Sine Qua Non seringkali dianggap tidak memadai untuk menjelaskan muncul suatu sebab, karena perspektif teoritis ini menghadapkan kita dengan terlalu banyak faktor yang dianggap sebagai penyebab suatu akibat tertentu. Adapun Teori Adequate Veroorzaking (penyebab yang bersifat dapat dikira-kira) berpendapat bahwa sesuatu hal baru dapat dinamakan suatu sebab dari suatu akibat, apabila menurut pengalaman manusia dapat dikira-kira lebih dahulu bahwa sebab itu akan diikuti oleh suatu akibat tertentu (lihat, Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, S.H., Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Sumur Bandung, 1992, hal. 23). Dalam kenyataannya, dunia ilmu hukum lebih banyak menggunakan Teori Adequate Veroorzaking.
Seandainya pun terjadi pengerahan pemilih yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Meluas; harus diakui betapa tidak mudah untuk membuktikan apakah pengerahan pemilih mempunyai hubungan kausal dengan terpilihnya salah satu satu pasangan calon. Dengan kata lain, sulit membuktikan pasangan calon yang manakah yang dipilih oleh para pemilih yang dikerahkan itu. Asas Langsung dan asas Rahasia yang berlaku dalam regim pemilu yang berlaku di Indonesia menyebabkan bahwa hanya masing-masing pemilih yang bersangkutan-lah yang tahu pasangan calon yang mana yang sungguh-sungguh dipilihnya ketika berada di bilik suara. Oleh karena itu, menjadi tantangan tersendiri bagi Tim Kuasa Hukum Pasangan Prabowo-Hatta untuk menggunakan Teori Adequate Veroorzaking untuk memperlihatkan hubungan kausal antara upaya Terstruktur, Sistematis, dan Meluas DENGAN terpilihnya salah satu satu Pasangan Calon Jokowi-JK!
Akan tetapi, apabila kita menyempatkan diri untuk memeriksa berbagai putusan yang telah dihasilkan oleh MK dalam rangka perkara perselishan hasil pemilu, sesungguhnya, ada alasan bagi Pasangan Prabowo-Hatta untuk berbesar hati dalam berharap. Dalam Putusan No.: 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Keberatan Keberatan terhadap Hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur, MK secara jelas-jelas menyatakan menganut asas NEMO COMMODUM CAPERE POTEST DE INIURIA SUA PROPIA (lihat, Mahkamah Konstitusi RI, Ikhtisar Putusan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, 2008-2009. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, hal. 85). Asas hukum dan keadilan tersebut pada intinya mengandung makna bahwa “No one may gain profit from his own wrongdoing.” (lihat, Aaron X. Fellmeth & Maurice Horwitz, Guide to Latin in International Law. Oxford, UK.: Oxford University Press, 2009, hal. 194).
Berdasarkan asas NEMO COMMODUM CAPERE POTEST DE INIURIA SUA PROPIA, dalam Putusan No.: 41/PHPU.D-VI/2008 tersebut di atas, MK selanjutnya berpendapat bahwa “…Mahkamah tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan, sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknis-matematis sebenarnya bisa dilakukan penghitungan kembali oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sendiri di bahwa pengawasan Panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh pengadilan biasa. Oleh sebab itu, meskipun menurut undang-undang, yang dapat diadili Mahkamah adalah hasil penghitungan suara, namun pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan terjadinya hasil penghitungan suara yang dipersengketakan harus pula dinilai untuk menegakkan keadilan.
Larangan bagi Mahkamah untuk menangani kasus pelanggaran dan tindak pidana dalam Pemilu Kepala Daerah harus diartikan bahwa Mahkamah tidak boleh melakukan fungsi peradilan pidana dan peradilan administrasi. Namun, Mahkamah tetap boleh mempermasalahkan dan mengadili setiap pelanggaran yang berakibat pada hasil penghitungan suara.
Mahkamah menilai pelanggaran Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur bersifat sistematis, terstruktur, dan masf yang dilakukan menjelang, selama dan susdah pencoblosan. Dengan demikian, jika putusan Mahkamah hanya menghitung ulang hasil perhitungan yang ditetapkan oleh KPU Provinsi Jawa Timur, Mahkamah berpendapat tidak akan banyak gunanya karena hasil penghitungan yang ada hampir pasti sama dengan komposisi hasil pencoblosan di kertas suara. Lagi pula, hasil penghitungan yang ada sekarang di daerah tertentu dapat dilihat sebagai penghitungan hasil pelanggaran.” (lihat, Mahkamah Konstitusi RI, Ikhtisar Putusan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, 2008-2009. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, hal. 85-86).
Sikap yang kurang lebih sama juga dianut dan dinyatakan oleh MK dalam Putusan No.: 49/PHPU.D-VI/2008 tentang Keberatan terhadap Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Tapanuli Utara (lihat, Mahkamah Konstitusi RI, Ikhtisar Putusan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, 2008-2009. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, hal. 130-131). Bahkan dalam Putusan No.: 57/PHPU.D-VI/2008 tentang Keberatan terhadap Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan, MK dengan tegas menyatakan: “…Mahkamah tidak dapat membiarkan dirinya dipasung oleh keadilan prosedural (procedural justice) semata-mata, melainkan juga keadilan substansial.” (lihat, Mahkamah Konstitusi RI, Ikhtisar Putusan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, 2008-2009. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, hal. 154).
Dari konstatasi putusan-putusan MK tersebut di atas, tidak berlebihan kiranya untuk mengatakan betapa beban pembuktian yang harus dipanggul oleh Pasangan Prabowo-Hatta bersama Tim Kuasa Hukum-nya dalam pemeriksaan perkara di MK sesungguhnya lebih mudah. Akan tetapi, tidak dapat dinafikan juga betapa perselisihan hasil pilpres sangatlah saran dengan muatan yang bernuansa politik. Demikian pula, berdasarkan pengalaman beracara di MK, harus pula dikemukakan betapa MK tidak selamanya mampu membebaskan diri dari aura dimensi politis dalam memeriksa dan memberikan putusan atas suatu perkara. Dan, hal itu akan terasa makin problematik manakala kita menyadari betapa “politics is the art of possibilities”, yah, politik dalam kenyataannya adalah seni dalam memelihat kemungkinan-kemungkinan!

HORAS A.M. NAIBORHU, adalah Co-founder & Legal Analyst pada CSN Law Offices dan Research & Development Program Director pada Decy C. Hasan’s Legal Training Centre, keduanya di Kota Bekasi. Kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Nasional Partai Serikat Rakyat Independen (DPN Partai SRI) bidang Hukum. Aktif melakukan berbagai upaya hukum dalam rangka pengawalan pelaksanaan Pilpres 2014. Tulisan di atas sepenuhnya adalah pendapat pribadi. Saran dan pendapat dapat diajukan melalui email:horas.naiborhu@yahoo.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline