Lihat ke Halaman Asli

Menimbang Legalitas Kenaikan Harga BBM Kali ini

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 17 November 2014, Pemerintahan Jokowi-JK telah mengumumkan kenaikan harga BBM, di mana kebijakan itu mulai berlaku efektif pada tanggal 18 November 2014 pukul 00.00. Seperti telah diduga, kebijakan tersebut akan memicu pro dan kontra dengan argumennya masing-masing. Saya tidak tertarik untuk membahas argumen-argumen itu, baik yang pro maupun yang kontra. Sebab persoalan di seputar tepat atau tidaknya suatu pilihan kebijakan publik pada akhirnya menyangkut hal-hal yang bersifat ideologis, hal-hal yang bersifat subyektif, hal-hal yang ditentukan oleh posisi masing-masing dalam menilai kebijakan publik yang bersangkutan.

Tulisan ini lebih memusatkan perhatian pada aspek legalitas dari pilihan kebijakan tersebut. Landasan pijaknya jelas adalah Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum” yang berarti bahwa dalam hal penyelenggaraan kekuasaan negara, setiap tindak-tanduk penyelenggara negara haruslah taat asas dan tahan uji terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apa yang dimaksud dengan penyelenggaraan kekuasaan negara yang berdasar atas hukum? Pada titik ini kita perlu mendengar Hans Kelsen, ahli hukum asal Austria yang sangat berwibawa di bidangnya, ketika mengatakan: “An Individual who does not function as a State organ allowed to do whatever he is not forbidden to do by legal order, whereas the State, that is, an individual who functions as a State organ, can do only what the legal order authorizes him to do.” (Hans Kelsen, General Theory of Law and State. New York: Russell & Russell, 1961, hal. 264).

Oleh karena itu, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: apakah Pemerintahan saat ini diberi otoritas oleh tatanan hukum yang berlaku untuk menaikkan harga BBM? Perhatian tentu saja perlu kita arahkan ke UU No.: 12/2014 tentang Perubahan UU No.: 23/2003 tentang APBN Tahun 2014 atau yang lazim disebut sebagai UU APBN-P 2014. Tampaknya tidak perlu penjelasan yang serba panjang lebar untuk mengatakan betapa UU APBN-P 2014 ditetapkan demi mengakomodir perubahan-perubahan yang terjadi dalam besaran-besaran asumsi dasar ekonomi makro yang mendasari penyusunan APBN 2014. Asumsi-asumsi dasar tersebut terdiri dari: 1). perkiraan pertumbuhan ekonomi nasional, 2). perkiraan tingkat inflasi pada tahun anggaran berjalan, 3). perkiraan tentang nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang dolar AS, 4). perkiraan tentang realisasi harga minyak mentah Indonesia di pasar internasional, dan 5). perkiraan tentang realisasi lifting minyak sepanjang tahun anggaran berjalan. Perubahan pada salah satu atau lebih asumsi dasar tersebutlah yang mendasari perubahan APBN 2014 sebagaimana diwujudkan dalam APBN-P 2014.

Khusus untuk subsidi energi, Pasal 14 ayat (13) UU APBN-P 2014 berbunyi: “Anggaran untuk subsidi energi yang merupakan bagian dari Program Pengelolaan Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan berdasarkan realisasi harga minyak mentah (ICP) dan nilai tukar rupiah.” Adapun ayat (1) yang dimaksudkan itu berbunyi: “Program Pengelolaan Subsidi dalam Tahun Anggaran 2014 diperkirakan sebesar Rp 403.035.574.566.000,00 (empat ratus tiga triliun tiga puluh lima miliar lima ratus tujuh puluh empat juta lima ratus enam puluh enam ribu rupiah).”

Dari bunyi ketentuan Pasal 14 ayat (13) UU APBN-P 2014 kita dapat mengetahui bahwa realisasi harga minyak mentah (ICP) dan nilai tukar rupiah adalah dua faktor yang menjadi dasar pertimbangan untuk melakukan perubahan besarnya subsidi selama tahun anggaran 2014, termasuk subsidi BBM. Dalam APBN-P 2014, realisasi harga minyak mentah (ICP) diperkirakan sebesar US$ 105,0 per barel. Adapun nilai tukar rupiah diasumsikan sebesar Rp 11.600 per 1 US$.

Kita tentu saja tidak dapat menutup mata betapa pada hari-hari ini realisasi harga minyak mentah Indonesia (ICP) per Oktober 2014 telah mencapai US$ 83,72 per barel. Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah berada pada kisaran Rp 12.000,- Artinya, dari fakta-fakta yang demikian itu kita dapat mengetahui betapa terdapat alasan yang cukup untuk melakukan perubahan besarnya subsidi BBM.

Akan tetapi, ketentuan Pasal 14 ayat (13) itu haruslah dibaca dan dipahami dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU APBN-P 2014 yang berbunyi: “Perubahan APBN Tahun Anggaran 2014 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun Anggaran 2014, apabila terjadi: a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2014; b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarprogram; dan/atau d. keadaan yang menyebabkan SAL tahu sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan.” [cacatan: SAL = Saldo Anggaran Lebih]

Selanjutnya, Pasal 34 ayat (3) APBN-P 2014 berbunyi: “Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum Tahun Anggaran 2014 berakhir.”

Dari ketentuan Pasal 14 ayat (13) jo Pasal 34 ayat (1) UU APBN-P 2014 kita dapat mengetahui bahwa perubahan besarnya subsidi dalam pelaksanaan APBN-P 2014 haruslah terlebih dahulu dibahas bersama-sama oleh Pemerintah dan DPR. Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (13) jo Pasal 34 ayat (3) UU APBN-P 2014, perubahan realisasi subsidi tersebut haruslah dengan kekuatan UU, yakni UU tentang Perubahan atas UU APBN-P 2014. Demikianlah perintah UU APBN-P 2014!

Apa yang kita saksikan pada malam hari tanggal 17 November 2014, Presiden dan Wakil Presiden dengan didampingi oleh para menteri telah mengumumkan kenaikan harga BBM tanpa terlebih dahulu membahasnya secara bersama-sama dengan DPR sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 34 ayat (1) UU APBN-P 2014. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa perubahan besarnya subsidi energi tersebut tidak diwujudkan dalam produk hukum berbentuk undang-undang sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 34 ayat (3) UU APBN-P 2014.

Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya apabila kenaikan harga BBM kali ini dipahami dalam konteks bunyi Sumpah Presiden/Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.” Hal yang demikian itu menjadi kebutuhan bahkan keharusan apabila kita sepakat bahwa UUD 1945 bukanlah dokumen tanpa makna dan sumpah jabatan masih mengandung arti,-

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline