Pagi-pagi dapet kiriman video cuplikan wawancara penjelasan gubernur DKI , Anies Baswedan, tentang Kolaborasi Sosial Berskala Besar (KSBB) dari seorang kawan lewat WAG.
Saya jadi teringat tentang konsep Collaborative Governance yang selama ini coba diterapkan dalam pembangunan sanitasi di Indonesia.
Yang membedakan adalah, konsep KSBB ini, yang saya tangkap, diterapkan untuk menanggulangi krisis ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah yang mungkin bisa berdampak menjadi krisis sosial, selama dan pasca Covid19.
Sedangkan dalam pembangunan sanitasi, waktu target yang ditetapkan berdurasi relatif lebih panjang. Maksimal dalam kurun lima tahun sesuai dengan Strategi (pembangunan) Sanitasi Kota/Kabupaten (SSK). Atau sesuai RPJMN hingga tahun 2024.
Konsep CG sendiri yang diperkenalkan Ansel & Gash (2007) merupakan upaya pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dalam rangka memfasilitasi banyak pihak untuk mau dan mampu mendukung upaya yang sedang dilakukan pemerintah untuk mencapai target tertentu dalam kurun waktu tertentu.
Disini diperlukan kemampuan "facilitative leadership" seorang kepala daerah. Dengan upaya meningkatkan demand masyarakat yang dituju. Serta memberikan suply layanan (people, tekhnologi dan proses). Dan enabling environment, berupa aturan dan kebijakan yang memberi kemudahan dan benefit tertentu (incentive).
Berdasarkan pengalaman yang ada dalam pembangunan sanitasi, peningkatan demand masyarakat, atau dalam hal ini target yang dituju adalah mereka yang berpenghasilan menengah ke atas (termasuk perusahaan), perlu didahului dengan kesiapan layanan (desain kelembagaan), kejelasan insentif selain kepemimpinan fasilitatif jajaran pendukungnya.
Dalam situasi yang abnormal seperti sekarang tentu diperlukan tindakan segera dalam menyiapkan perangkat pendukungnya termasuk data (mereka yang katagori penerima bantuan dan potensial pemberi).
Sehingga yang dilakukan setelah "peluncuran" program ini, dilakukan komunikasi pemasaran targeted pada target yang dituju yaitu para calon pemberi bantuan.
Sedangkan pesan yang disampaikan "Payback for Jakarta" lebih pas jika disampaikan oleh institusi atau individu yang menjadi simbol penerima manfaat atas perkembangan ekonomi Jakarta selama ini. Biarkan ini jadi semacam "social movement" kalangan menengah atas Jakarta.
Sedangkan Pemda DKI memposisikan diri sebagai fasilitator atau "match maker" yang memberi kemudahan serta insentif untuk pemberi dan penerima.