Boleh saja pilkada dimaknai sebagai pertarungan kelas. Antara kepentingan pemodal besar dengan katakan saja kepentingan pemodal kecil, atau kepentingan elitis dengan kepentingan yang lebih luas.
Masing-masing calon pastinya menjadi proxy salah satunya atau keduanya dengan proporsi tertentu. Meski tidak selalu, kepentingan partai politik yang mengusung cenderung akan mewarnai atau setidaknya mempengaruhi kepemimpinan calon yang diusung.
Pemilih kritis dan rasional tentu akan mempertimbangkan karakter partai pengusung sebagai salah satu dasar dalam memilih.
Oleh karenanya calon independen jadi semacam alternatif untuk lahirnya kepala daerah yang dapat merangkul seluruh potensi dengan menyeimbangkan kepentingan agar lepas dari 2 kondisi yang tidak diinginkan yaitu; dominasi elitis (minoritas pemodal besar) atau tirani mayoritas pemodal kecil. Dibolak balik hakikatnya kita menolak dominasi dan tirani.
Dalam konteks ini, oleh karenanya konstitusi kita tetap membuka peluang calon independen untuk tampil jadi kepala daerah.
Oleh karenanya tak heran jika dari jumlah calon independen mestinya kian meningkat, namun nyatanya menurun sejak pilkada serentak dilaksanakan mulai 2015 (135 paslon), 2017 (68 paslon) dan kini 2018 sedang proses verifikasi dan belum bisa dikatakan sekarang.
Salah satu penyebabnya karena tidak mudah menjadi calon independen. Selain harus memiliki modal syarat dukungan yang memadai, perlu juga membangun tim dari awal untuk dapat menghadapi kompetisi yang kadang keras dan dinamis.
Sehingga dengan kian menyusutnya populasi calon kepala daerah jalur independen, mungkin perlu dievaluasi sistim pencalonan jalur independen hingga lebih mudah dan "murah".
Terlebih dengan terbelahnya partai-partai politik sekarang ini, antara pendukung pemerintah dan yang tidak mendukung pemerintah. Minimnya calon independen atau perseorangan adalah petaka bagi yang tak ingin terjebak dalam kungkungan memilih parpol yang setia membenarkan atau yang setia menyalahkan pemerintah.
Dan kepala daerah dari jalur independen mestinya akan dapat lebih leluasa melihat, menilai dan menerapkan kebijakan pemerintah dengan lebih obyektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H