Lihat ke Halaman Asli

Cita-cita Putus di Tiang Gantungan

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di desa Sumber Waras ada seorang Ibu bunuh diri dengan menggantung dirinya. Dia tidak tahan dengan kebutuhan hidup yang tidak dapat dipenuhinya. Dia mempunyai empat orang anak yang semuanya masih sekolah. Dua masih duduk di bangku SD, dan dua yang lain masing-masing sekolah di SMP dan SMA.

Dia sehari-hari bekerja sebagai buruh tani. Suaminya baru dua tahun lalu meninggal, konon katanya sakit lalu meninggal tanpa pernah berusaha mencari kesembuhan ke rumah sakit, karena tak mampu berobat.

Ke empat anaknya memang berprestasi dalam mengikuti pelajaran sekolahnya. Nilai-nilainya patut mendapat pujian. Menjadi kebanggaan keluarga dan masyarakat desa itu.

Justru inilah yang mendorong si Ibu untuk mengakhiri hidupnya di tiang gantungan. Si Ibu lebih memilih dirinya yang mati, dari pada mematikan semangat anak-anaknya, untuk terus ingin melanjutkan sekolah sampai batas akhir.

Bisa dibayangkan betapa berat beban yang di tanggung oleh Ibu itu. Berapa besar upah yang diterima sebagi buruh tani? Untuk biaya sekolah anaknya yang paling kecil saja tidak cukup.

Pagi itu anak yang nomer tiga menyampaikan keluhan kepada Ibunya. Dia baru lulus SD, dan juara 1. Lalu diterima di SMP Negeri, maka dia tetap harus segera membayar seperangkat keperluan sekolah.

Tak lama kemudian kakanya yang baru lulus SMP, juga menyampaikan kabar gembira. Setelah menjadi juara 1 di SMP, dan diterima di SMA Negeri, maka tetap dia harus segera membayar seperangkat keperluan sekolah.

Sedang sebelumnya kedua adiknya juga telah mengeluh dengan buku-buku, sepatu, seragam dan SPP, serta keperluan sekolah lainnya.

Ke empat anaknya belum mendapat kepastian jawaban dari Ibunya. Bahkan menganggukpun tidak. Mereka terpaksa mendesak sang Ibu, demi kelangsungan pendidikan mereka. Bagi mereka berempat sekolah adalah segalanya.

Hari itu sang Ibu baru pinjam 1 Kilogram beras di warung ujung kampung. Untuk keperluan makan sekeluarga hari ini, dan mungkin besok.

Sore hari ketiga anaknya tersentak kaget, dan segera bangun dari tidur siang, ketika mendengar adik mereka yang paling kecil berteriak histeris. Mereka semua meloncat dan berlari menuju sumber suara. Ternyata berasal dari kamar Ibunya.

Teriakan adiknya tidak berhenti, ketika kakak-kakaknya datang. Lalu teriakan itu disusul oleh ketiga kakaknya. Baru teriakan adik yang paling kecil berhenti, ketika dia jatuh pingsan.

Teriakan ketiga saudara kecil itu baru berhenti, ketika kamar Ibu sudah penuh dengan para tetangga. Tapi mulut ketiga anak itu tetap terbuka, tanpa mengeluarkan suara.

Para tetangga yang sebagian masih ada hubungan saudara, mengambil alih pengasuhan ke empat anak sang Ibu Almarhumah itu. Tetapi para tetangga selama hampir seminggu, hanya bisa melihat keempat anak itu tubuhnya masih tetap dalam keadaan menggigil gemetar.

Peristiwa itu terjadi empat tahun lalu. Para tetangga dan masyarakat desa sudah banyak yang melupakan kejadian itu. Tapi ke empat anak bersaudara itu sampai sekarang sudah tidak bisa lagi melanjutkan sekolah. Mereka lebih banyak merenung. Seperti sang Ibu, mereka tidak mampu menanggung beban hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline