Lihat ke Halaman Asli

Kasur Yang Bergoyang

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Doniii.... Doniiii...Doniii... Bangun nak!”

Dalam tidur, samar-samar aku mendengar suara perempuan berteriak. Sepertinya memanggil namaku. Suara itu tampaknya sangat aku kenal. Ternyata suara Ibuku.

“Plak.” Ibu memukul kepalaku.

“Doni bangun!” Ibu membentak, sambil tangannya menggoyang-goyangkan bahuku.

Dengan mata hanya mampu terbuka separuh aku melihat Ibuku melotot, memaksaku bangun dari tidur. Dia membentak lagi dan berkali-kali. Kini semakin jelas suara siapa yang berteriak dalam mimpiku tadi.

“Satu jam lebih Ibu membangunkan kamu, ayo cepat bangun! Belikan Ibu gula pasir di kedai Pak Jono, sekarang!” Bentak Ibu sekali lagi.

Dia berdiri tepat di hadapanku,sambil menyodorkan beberapa helai uang kertas, ke arah mukaku. Aku masih duduk di dipan kasur, belum siap untuk berdiri. Dengan kantukku ini, rasanya aku masih ingin tidur setahun lagi.

Aku terpaksa langsung berdiri, ketika aku sadar dan melihat Ibu berdiri tepat di depanku. Sambil memintaku untuk cepat berangkat, tangannya diangkat keatas siap untuk memukul kepalaku lagi.

Setelah membasuh wajahku dan mengusapnya dengan handuk, aku langsung keluar memenuhi perintah Ibu. Semalam kurang tidur, karena begadang sampai hampir subuh. Aku keluar rumah dalam keadaan setengah sadar. Kesadaranku bertambah sedikit, ketika Ibu membentak lagi:

“Jangan lupa gula pasirnya 2 kilo.”

Kenapa harus beli gula pasir di kedai Pak Jono? Keluhku, bukankah di kedai Pak Slamet lebih dekat? Di sana kan juga jual gula pasir. Samar-samar aku mulai ingat, dalam keadaan setengah sadar, Ibu menjelaskan tadi sudah ke kedai Pak Slamet, tapi di sana lagi kehabisan persediaan. Karena tempatnya lebih jauh maka Ibu menyuruhku ke kedai Pak Jono.

Jalan menuju kedai Pak Jono melewati pinggir sungai. Dalam keadaan ngantuk samar-samar aku melihat dua buah layang-layang sedang beradu sambit. Kemudian salah satu yang berwarna biru kalah dan putus. Beberapa anak-anak kecil berlari mengejar mengikuti arah jatuh layang-ayang yang putus itu. Layang-layang putus terbang jauh melayang dan jatuh di tengah sungai. Anak-anak yang lari lalu berhenti sebentar, melihat layang-layang itu hanyut di sungai. Tampak wajah mereka kecewa, tapi lalu pergi siap menanti putusnya layang-layang lain yang sedang beradu sambit.

Sesampai di kedai Pak Jono, ternyata kedainya belum buka. Di sana ada beberapa orang yang sedang menunggu kedainya buka. Kata mereka sebentar lagi kedainya buka, jadi aku juga ikut menunggu.

Tak lama kemudian kedianya buka juga. Aku menunggu giliran di layani, karena aku datang terakhir. Seorang Ibu menyilahkan aku dilayani terlebih dahulu, dia kasihan karena melihat aku tampak seperti ngantuk sekali. Lalu aku maju dan berkata:

“Beli gula pasir 2 kilo Pak Jono.”

“Dua puluh dua ribu rupiah.” Kata Pak Jono, sambil tangannya di julurkan kearahku meminta uangnya.

Kuberikan uang Dua puluh lima ribu rupiah, lalu kuterima tas plastik hitam di dalamnya berisi dua bungkusan plastik bening gula pasir. Sambil menunggu kembalian, kulihat wajah kusam pak Jono, sepertinya kurang tidur. Nampaknya semalam dia juga begadang.

Setelah kuterima uang kembalian, aku meninggalkan kedai itu, tapi sebelumnya aku ucapkan terima kasih pada Ibu tadi. Dan Ibu itu melihat aku dengan senyum, wajahnya bergerak mengikuti arah aku pergi.

Di perjalanan pulang, di pinggir sungai, aku melihat masih banyak anak-anak yang sedang menunggu layang-layang yang putus, setelah beradu sambit. Mereka berkumpul berkelompok-kelompok di tempat yang cukup jauh, memperkirakan kemungkinan tempat jatuhnya layang-layang yang sedang beradu sambit itu.

Mataku mencoba melihat layang-layang yang tadi jatuh di sungai. Ternyata layang-layang biru itu masih ada dan tersangkut di sungai, tapi kertas birunya tinggal sedikit, yang tampak hanya rangkanya.

Sesampai di rumah gula pasir kuberikan kepada Ibu, lalu aku langsung ke kamar untuk melanjutkan tidurku. Tapi Ibu mencegah dan berkata:

“Hei, Doni. Buang sampah itu dulu ke sungai.” Tangan Ibu menunjuk pada bungkusan tas Kresek merah di pojok dapur.

Ketika mataku tertuju pada tas plastik merah itu, aku langsung sadar pasti hari ini aku tidak akan merasakan tidur. Karena aku melihat tumpukan barang-barang dapur di tempat cucian, pasti Ibu akan menyuruhku untuk membersihkannya. Aku juga melihat lantai rumahku kotor, maka seperti biasanya aku juga akan disuruh untuk menyapunya. Belum pekerjaan yang lain, aku masih belum sepenuhnya sadar.

Ibu yang sibuk berjualan kue gorengan tidak bisa diganggu. Biasanya hari Minggu ramai sekali pesanan. Dia bekerja sendiri, hanya aku selain dia di rumah ini. Jadi aku harus membantunya. Salah sendiri aku begadang semalam.

“Makanya jangan tidur terlalu malam, supaya tidak ngantuk siang harinya.” Kata Ibu dengan intonasi tinggi, tanpa melihat aku.

Aku diam tidak menjawab, baginya setiap jawaban yang aku katakan adalah bantahan. Tidak jadi ke kamar, aku kembali ke dapur, mengambil tas plastik merah isi sampah untuk di bawah keluar, ke sungai tempat layang-layang biru tadi hanyut dan tersangkut.

Di pinggir sungai itu aku lempar tas plastik merah berisi sampah. Bagian pinggir sungai itu memang di jadikan penduduk kampung ini sebagai tempat pembuangan sampah. Sebagian hanyut di bawa arus sungai, sebagian masih menumpuk di pinggir sungai.

Jika hujan deras, maka tumpukan sampah di pinggir sungai habis di bawa arus sungai yang meningkat. Tempat sampah di pinggir sungai tampak bersih. Tapi itu hanya untuk sementara, tak lama kemudian akan kotor lagi penuh dengan sampah penduduk.

Pulang dari membuang sampah, aku langsung ke tempat cuci piring dan barang dapur. Ibu sempat memperhatikan aku datang, takut aku kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur. Belum separuh barang pecah belah itu selesai kucuci, kepalaku mulai terasa sakit di bagian sebelah kanan.

Aku menoleh ke Ibu tanpa berhenti mencuci piring, berharap dia menyuruhku untuk tidur sebentar. Seorang Ibu seharusnya merasakan juga, jika anaknya ada yang dirasakan sakit. Dia tetap menggoreng kue, bahkan melirik akupun tidak.

Setelah barang-barang dapur yang kotor di tempat cucian selesai, aku mulai mengambil sapu, untuk mengerjakan pekerjaan berikutnya. Sebelum memulai menyapu sempat kulihat kasurku bergoyang-goyang seperti ombak lautan, seakan mengharap aku segera menempatinya.

Dari dapur sampai depan rumah aku lalui dengan mengayunkan batang sapu. Membersihkan lantai dari berbagai macam kotoran kecil. Dengan keadaanku seperti ini, sulit bagiku untuk mengetahui apakah lantai sudah benar-benar bersih. Aku tak bisa membedakan mana kotoran, dan mana kembang-kembang plesteran semen lantai rumahku. Pokoknya semua lantai sudah ku usap dengan sapu ini.

Setelah ku kumpulkan sampah debu dari lantai di pinggir teras. Aku menemui Ibu untuk menanti tugas lainnya. Tampaknya Ibu sudah selesai menggoreng semua kue. Tampak dia mematikan api kompor, dan sudah tidak menggoreng kue lagi. Lalu dia berkata:

“Ambilkan tiga keranjang itu.”

Aku ambil ketiga keranjang yang ditumpuk di atas lemari dapur.

“Masukkan kue-kue itu di dalam keranjang, bagi masing-masing lima puluh biji.” Kata Ibu melanjutkan.

Aku masukkan kue ke dalam salah satu keranjang sebanyak lima puluh biji, sedang Ibu memasukkan kue ke dalam keranjang yang lain. Dalam keadaan mengantuk dan sebelah kepalaku sakit, sangat memungkinkan bagiku untuk mengalami kesalahan menghitung. Untuk menghindari kesalahan, maka aku pisahkan masing-masing sepuluh-sepuluh. Ibu melihat caraku menghitung, tapi dibiarkan. Asal aku tidak tidur, dia senang.

Ibu memasukkan masing-masing lima puluh kue ke dalam kedua keranjang. Karena takut salah, aku jadi lambat memasukkan kuenya. Aku Cuma dapat satu keranjang. Lalu setiap keranjang di tutup dengan plastik bening.

“Kamu antar satu keranjang ini ke Toko Sari Rasa dulu. Setelah itu yang lain masing-masing ke Toko Dewi Sri dan ke rumahnya Bu Murti. Ngerti!” Kata Ibu, menjelaskan lagi sesuatu yang sudah setiap hari aku lakukan.

Aku menganggukkan kepalaku tanda mengerti. Padahal aku sudah mengerti sejak setahun lalu. Tapi wajah Ibu tampak ragu-ragu.

“Iya Bu, aku ngerti. Yang ini untuk Toko Sari Rasa, yang ini untuk Toko Dewi Sri dan yang ini untuk Bu Murti.” Kataku menjelaskan, sambil menunjuk ke masing-masing keranjang.

“Ya betul, rupanya kamu sudah mulai lancar.” Kata Ibu tampak sedikit senang.

Aku lebih memilih tidak mengomentari ucapan Ibu. Keranjang itu kuikat di sepeda ongkelku. Dua di belakang dan satu di depan. Setelah yakin ikatanku mantap, aku pamit dan berangkat mengayuh sepeda itu ke tempat tujuan.

Jalan yang kulalui adalah sama dengan yang tadi, lewat pinggir sungai. Tapi aku tidak melihat lagi layang-layang yang hanyut di sungai itu. Tapi anak-anak masih banyak di sekitar sungai. Sebagian dari mereka memperhatikan aku melaju dengan sepeda, dan sebagian tidak memperhatikan aku sama sekali. Bagi mereka layang-layang lebih menarik ketimbang aku.

Ketiga tempat itu lebih jauh dari kedai Pak Jono. Tapi aku tidak bisa lagi membedakan seberapa jauh jaraknya. Aku tidak terlalu perduli lagi dengan jaraknya. Yang aku inginkan adalah selesai pekerjaanku pagi ini, dan aku ingin tidur lagi. Di kasur itu, kasur yang tampak bergoyang-goyang itu. Sepanjang jalan ini yang aku lihat hanya kasur itu. Kasur yang bergoyang-goyang itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline