Lihat ke Halaman Asli

Honing Alvianto Bana

Hidup adalah kesunyian masing-masing

Cara Berpikir Cebong-Kampret

Diperbarui: 15 Oktober 2020   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tan Malaka *Dok: Istimewa

Banyak masyarakat Indonesia telah mengidap sebuah penyakit bernama cebong-kampret. Kalau diurut, penyakit ini dimulai dari Pilpres 2014, lalu kambuh pada Pilkada DKI, dan semakin parah pada Pilpres 2019 serta kembali menggema saat pengesahan RUU Omnibus Law kemarin.

Pola dari penyakit ini selalu sama, yaitu saat kita mengkritik pemerintah, kita akan dituduh sebagai kampret. Tapi kalau memuji kerja pemerintah, maka kita akan dianggap anggap sebagai cebong.

Penyakit ini, jika dihitung dari 2014-2020, maka sudah berlangsung selama 7 tahun. Melihat hal itu, saya lantas bertanya-tanya: apa penyebap dari penyakit cebong-kampret ini?

Setelah merenung beberapa saat, saya mendapatkan jawabannya. Setidaknya, menurut saya, ada dua penyebab orang bisa mengidap penyakit: "bangga jadi cebong dan bahagia jadi kampret."

Penyebab yang pertama adalah kesempitan berpikir. Kesempitan berpikir adalah kecenderungan orang untuk memutlakan pandangan sendiri, dan menolak untuk melihat dari sudut pandang orang lain.

Kesempitan berpikir semacam ini sering ditandai dengan kurangnya empati, yakni kemampuan untuk merasakan apa yang mungkin dirasakan orang lain. 

Akibatnya, orang tersebut tidak mampu mempertimbangkan pandangan orang lain. Ia lalu merasa paling benar, walaupun tak sungguh berpijak pada akal sehat, ataupun kenyataan yang ada.

Kesempitan berpikir semacam ini terlihat dalam narasi-narasi yang sering dibangun oleh kelompok cebong dan kampret. Yang kubu cebong merasa bahwa pemerintah Jokowi tak pernah salah, sedangkan yang kubu kampret merasa pemerintah tak pernah benar.

Jika kita membiarkan kesempitan berpikir semacam ini terus dibiarkan, orang akan jatuh pada penyakit selanjutnya, yaitu fanatisme buta.

Penyebab kedua adalah fanatisme buta. Fanatisme semacam ini tidak tiba-tiba muncul. Ia adalah hasil dari kesempitan berpikir. Fanatisme buta yang saya maksud adalah suatu sikap ekstrem di dalam memeluk pandangan tertentu, serta bersedia melakukan apapun atas nama pandangan yang dianut  tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline