Lihat ke Halaman Asli

Honing Alvianto Bana

Hidup adalah kesunyian masing-masing

Ruang Publik Harus Tetap Kritis

Diperbarui: 12 Oktober 2020   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan ini, diskusi politik di Indonesia begitu biadab. Perbedaan suku, ras dan agama dijadikan bahan untuk saling memecah-belah bangsa. Orang-orang yang dulunya dianggap cerdas kini berbalik menjadi beringas. Berbagai kelompok kepentingan yang pikirannya primitif dibiarkan merajalela di ruang publik, dan menciptakan keresahan sosial.

Melihat hal itu, kita lantas bertanya-tanya, mengapa mutu diskusi politik di Indonesia menjadi begitu rendah dan membosankan?

Menurut saya, ada tiga penyebab yang membuat ruang publik kita menjadi tidak waras. 

Pertama, agama telah menjadi begitu dominan di ruang publik, sehingga merobohkan nalar kritis yang merupakan unsur penting di dalam demokrasi. Agama memang sudah menjadi bagian dari hidup manusia. Namun, ketika ia digunakan untuk membenarkan kepentingan-kepentingan politik yang tidak jujur, ia justru menciptakan petaka. Akhirnya, kita menjadi bangsa yang berlebihan doa, namun kekurangan nalar.

Agama akhirnya menjadi alat politik untuk menyebarkan kebohongan, kebencian, dan perpecahan. Para tokoh agama pun seakan melupakan tugasnya untuk menyebarkan kedamian dan kebijaksanaan.

Kedua, ekonomi merangsek ke dalam ruang publik, dan memaksakan cara berpikirnya ke berbagai bidang kehidupan. 

Apa yang dulunya hanya sebuah pengandaian di dalam ilmu ekonomi, kini dipaksakan menjadi kenyataan yang meliputi keseluruhan hidup manusia. Bidang-bidang lain yang bermakna bagi kehidupan manusia kini terpinggirkan, dan menjadi seolah tak punya nilai.

Akhirnya kehidupan bersama dijajah oleh kepentingan ekonomi yang mengedepankan akal budi instrumental. Akal budi yang agung kini seakan pasrah pada kepentingan-kepentingan ekonomi jangka pendek yang mengeksploitasi alam dan manusia.

Ketiga, dunia pendidikan menjadi tempat menempa orang menjadi manusia munafik. Guru selalu mengajar tentang kejujuran, sementara ia sendiri menyebarkan contekan saat Ujian Nasional.

Berbagai ujian dibuat, namun tidak menguji apa yang sungguh penting. Kompetisi digalakkan, tetapi hanya berperan sebagai simbol tak berarti yang tak menandakan apapun. Gelar diberikan dan dipampang panjang-panjang, tetapi hanya simbol yang sia-sia belaka.

Di dalam dunia pendidikan kita , kemunafikan seperti ini menjadi paradigma yang ditolak, namun diterapkan secara sistematis.  Tak heran para koruptor adalah orang-orang terpandang dan berpendidikan tinggi.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline