Lihat ke Halaman Asli

Honing Alvianto Bana

Hidup adalah kesunyian masing-masing

Sekedar Merawat Ingatan

Diperbarui: 23 Desember 2017   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kisah yang pernah kita jalani itu masih kuingat dengan jelas, ya masih hangat dalam ingatan. Kisah kita itu tak seindah kisah-kisah  romantis dalam novel-novel yang pernah kita baca. memang tidak ada suatu moment yg paling romantis dalam hubungan kita kala itu. bagi kita setiap hari dan setiap saat adalah romantis, tidak ada yang perlu dispesialkan. tidak pernah ada mawar merah, juga tak pernah ada lagu-lagu romantis disaat kita menghabiskan waktu bersama. entah saat itu kita sedang duduk bersama didalam sebuah taman bersama teman-teman untuk berdiskusi, atau disaat kita duduk untuk sekedar menikmati setiap waktu bersama didalam warung-warung kopi diseputaran kampus. seingat saya hanya lagu-lagu perjuangan seperti darah juang, dan mungkin lagu-lagu iwan fals yang sering kita dengarkan atau kita nyanyikan.


oh iya, kau masih ingat saat itu? saat kita duduk diatas trotoar didepan kampus sambil kita bercerita tentang harapan-harapan kita masing-masing jika kelak kita ditakdirkan untuk bersama? saat saya berkata dengan suara yg begitu lantang dan gagah, seperti laki-laki muda pada umumnya yang begitu percaya diri, padahal belum pernah punya pengalaman mengasuh anak. 

kau masih ingat apa yang saya katakan kala itu? saya berkata :  sayang, jika kelak kita diberikan kepercayaan untuk memiliki anak, maka saya tidak akan pernah memaksakan anak kita untuk bisa memenghafal lagu indonesia raya atau pun menghafal pembukaan Undang-Undang Dasar 45 itu sampai alinea yg terakhir. saya hanya ingin mengajarkan dia tentang kejujuran, komitmen dan keberpihakan kepada orang-orang yang teraniaya atau terpinggirkan. selebihnya biarkan dia sendiri yang akan menentukan tentang apa yang akan dia perbuat dan jalani didalam hidupnya. sedangkan kau memiliki harapan yang begitu sederhana. yah, masih segar dalam ingatan, saat kau menggenggam tanganku serta berkata bahwa kau hanya ingin anak-anak kita kelak memiliki otak yang cerdas seperti ayahnya, dan memiliki sifat yang baik seperti dirimu. lalu kau ingin merawat dan membesarkan anak-anak kita dengan kasih sayang, sambung kau kala itu dengan suara yang begitu lirih, tapi menusuk.

hari ini kita sudah berpisah, semoga kau sudah menyadarinya, dan tak perlu lagi kau tinggal terus-menerus dimasa lalu seperti awal-awal kita memutuskan untuk berpisah. bukankah masa lalu hanyalah berisi file-file yang sudah usang? seperti apa yang pernah kau katakan kala itu: "kita hanya boleh menoleh kemasa lalu jika perlu, dan setelah itu kita harus tetap melangkah kedepan dengan optimis".

saat ini, saat saya menulis cerpen yang kusam ini, mungkin kau sudah memiliki pasangan yang entah siapa namanya, begitu juga dengan diriku. namun harapan-harapan kita untuk tetap mendidik anak-anak kita masing-masing harus tetap kita ajarkan. meski kelak kita memiliki anak yang berbeda dari pasangan kita masing-masing. tak ada maksud lain dalam menulis cerpen yang seharusnya masih membutuhkan banyak perbaikan lagi. 

saya hanya sekedar datang kembali ke gedung-gedung kenangan ini  untuk memastikan bahwa  senyumanmu masih tetap hangat dan menenangkan seperti dulu. Setelah itu saya akan segera pergi untuk kembali membuat sejarah baru dimasa depan bersama orang yang sudah saya cintai saat ini. Bisakah kau datang kembali kesini? biar kutatap kau sebentar saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline