Lihat ke Halaman Asli

Padahal Hanya Sepatu, Anak Bastem

Diperbarui: 30 Maret 2019   23:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Goresan dari tiap gerak dan lirikan mata yang masih terasa menyayat hati hingga kapan pun akan tersimpan baik dalam memori dari anak-anak kaki langit yang tinggal di Desa Buntu Batu dan Desa Kanna Utara, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu. Kami kemudian memanggil mereka sebagai "Sahabat Kaki Langit".

Desa ini adalah desa kedua terakhir di ujung Bastem, terletak pada ketinggian 2700-an mdpl. Udara segar yang juga membuat warganya terlihat sangat sehat karena menghirup udara yang sungguh bersih, wah segarnya berasa hingga ke paru-paru.

Kedatangan kami bersama rombongan Sahabat Annisa yang di sambut masyaAllah dengan kehangatan, senyuman yang mendamaikan, serta kopi dan teh hangat dari Kepala Desa Kanna beserta seluruh keluarganya, membuat kami berasa sedang berada di rumah/kampung sendiri. Padahal kami hanya ingin singgah beristirahat di tepi Masjid setelah menempuh perjalanan sekitar 4 jam dari Belopa.

Selesai shalat Jumat, kami melanjutkan perjalanan lagi menuju desa yang sudah berbatasan dengan Toraja dan Enrekang, masyarakat yang melihat kami dari depan rumah atau dari pinggir-pinggir jalan, oh bikin hati ini terharu biru ketika satu per satu lambaian tangan yang dihiasi senyuman tulus dari warga menyambut kedatangan kami, maka jadilah kami bertingkah bak selebriti melambaikan tangan menyapa mereka semua; "Maiki tanta, maiki ambe, haloooooo anak-anak". Teriakan dari atas jeep menjadi pelipur lelah seluruh badan yang terombang-ambing oleh jalanan berliku pula bergelombang. 

Belumlah cukup kehangatan sambutan dari warga, oleh seorang sahabat baru yang menggunakan motor trail, turun dari motornya langsung menyapa dengan ramah nan santun. Kemudian membawa rombongan ke salah satu rumah warga yang sedang mengadakan pengajian acara kematian kerabatnya. Di rumah ini lagi-lagi kami disuguhkan Kopi, Teh, dan Kue yang disantap setelah menghabiskan lembaran-lembaran JUZ.

Beranjak menaiki jeep dimana dua supir jeep Off-Road super kuat yang sangat bersahabat sudah siap menanjak gas, kembali kami menikmati pemandangan jejeran anak-anak yang menatap riang gembira penuh semangat, maka membungkuklah saya menyamakan ketinggian dan menjulurkan kedua tapak tanganku "Saya Mazra, ayo tepuk tangan saya dengan keras!" dan amazingly mereka gembira sekali menerima kami sebagai sahabat kecil mereka, yang sebenarnya kami menyadari diri sebagai anak kecil yang tenggelam di dalam tubuh manusia dewasa yang juga senang bergembira berlarian di atas gunung.

0cc2b213-36b7-42ef-bf9c-87f1b3160ffc-5c9f930fcc528358a4628ec8.jpg

Perjalanan masih harus dilanjutkan ke puncak Buntu Batu, tapi ku memilih berlari bersama sahabat kaki langit. Saya harus mengaku kalah dari mereka saat menapaki puncak, saya ngos-ngosan berkejaran dengan mereka, dan saya kalah telak, padahal sepatu yang saya kenakan sudah berasa nyaman untuk berlari, namun anak kecil yang tanpa alas kaki berlarian di atas pecahan bebatuan cadas begitu mudah mengalahkanku. Kami sangat gembira, SubhanAllah.

Hamparan gunung berlapis yang mengelilingi dengan keindahan pepohonan hijau serta awan-awan yang bergelantungan sangat megah, SubhAllah ciptaan-Mu wahai Tuhan Semesta Alam. Perjalanan panjang yang penuh tantangan terlunasi oleh kemegahan alam desa dan kehangatan warganya.

Di atas pendopo kecil, seorang kakek telah menunggu kedatangan kami, lengkap dengan jejeran gelas yang disiapkan untuk kami melepas penat menikmati kopi dan teh panas, ini kenikmatan yang tiada habisnya bersahutan. Dan kejutan lain, ternyata rumah megah milik kakek ini disediakan untuk kami tinggali. Alhamdulillah, sungguh nikmat mana lagi yang harus kami dustakan? 

4d10957e-211f-4236-b79d-ddbf06b144bf-5c9f9349971594176b01a253.jpg

Malam pun berlalu disambut subuh yang dingin, meski hampir rata-rata kami mengalami masalah tidur karena beberapa sebab, pula karena persoalan klasik yaitu sindrom bantal baru, namun lembayung merah di luar sudah memanggil mesra seolah dia berkata "Wahai para tamu gunung, ayo abadikan keindahan awan yang sedang berkerumun di atas puncak, sungguh indah nian!" sehingga tidur yang mungkin lelap hanya beberapa menit sudah berasa amat cukup. 

Mentari mulai beranjak mengajak bergerak, bersama rombongan kami berangkat ke sekolah SD yang tanahnya adalah tanah wakaf dari sang kakek bernama Kakek Pasau, pemilik rumah yang kami tinggali. Murid di sekolah ini berjumlah lebih dari 100 orang untuk enam kelas, tiga orang guru honor yang hanya bergaji Rp500.000,- per tiga bulan, mengajar estafet dari kelas ke kelas, namun pengabdian mereka sungguh kami cemburui, karena belum mampu berbuat sebanyak kontribusi mereka dalam menjawab masalah-masalah pendidikan di kaki langit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline