Lihat ke Halaman Asli

Holy Ichda Wahyuni

Dosen FKIP UM Surabaya

Pendidikan Anak: Jangan Lagi Menyepelekan Kekerasan Berdalih Gurauan

Diperbarui: 16 Juni 2022   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perundungan. Sumber: pixabay.com

Kejadian tragis akibat perundungan terulang kembali. Seorang pelajar SMP di Sulawesi Utara, meninggal dunia setelah diduga menjadi korban perundungan (bullying) oleh teman sekolahnya. Bahkan kejadian ini terjadi di sekolah. Pelajar ini meninggal setelah mengalami kekerasan oleh 9 temannya, korban dipukuli dengan kondisi terikat.

Sebenarnya kejadian ini bukanlah kali pertama terjadi. Kasus serupa sudah seringkali terjadi namun seolah-olah seperti virus yang tak kunjung sembuh, justru semakin menjadi-jadi dan menjamur di kalangan anak dan remaja yang ketegorinya di bawah umur. 

Lantas bagaimana mereka mampu mempertanggungjawabkannya. Kemudian, yang paling penting apa yang kemudian harus kita upayakan dalam tindakan preventif.

Pertanggungjawaban di mata hukum, bukanlah ranah saya. Namun sependek pengetahuan saya, ketentuan-ketentuan terhadap hukuman tindak kriminal anak di bawah umur yang memuat  penjatuhan sanksi pidana terhadap anak salah satunya telah tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012. 

Regulasi ini memuat diantaranya; pembatasan umur anak, penjatuhan sanksi dan hak-hak anak, sedangkan penerapan sanksi yang digunakan berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan. 

Sementara itu, tempat penerapan sanksi yang akan ditempati pelaku di bawah umur, adalah sebuah lembaga pendidikan khsusus anak, dengan pemberian pembinaan di dalamnya.

Pertanggungjawaban yang cenderung ringan untuk pelaku di bawah umur menjadi salah satu faktor terbuka lebarnya perilaku-perilaku kriminal anak. 

Namun sebelum berbicara ranah hukum, sebetulnya hal yang lebih harus disoroti adalah lingkungan tempat anak bertumbuh, gaya parenting yang diterima anak beserta segala behavior yang mengakar dalam diri si anak.

Berawal dari Pemakluman "Hanya Anak-Anak"

Mencintai tidak selamanya harus mengiyakan semua kehendak anak, mencintai anak tidak selalu dengan membelanya di setiap waktu. Mencintai anak tidak arif rasanya jika dengan membenarkan setiap perbuatannya. 

Kalimat "ah! hanya anak-anak" hanyalah sebuah kalimat dari orang yang malas mendidik. Ini menjadi salah kaprah, justru selagi masih anak-anak, masih dalam masa golden age, pendidikan karakter itu harus ditanamkan dalam-dalam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline