Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Puisi Karya Syarifuddin Arifin " Akulah Iga, Menyiasati Belualang "

Diperbarui: 27 September 2024   17:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

borobudurwriters.id

Puisi "AKULAH IGA, MENYIASATI BELULANG" karya Syarifuddin Arifin adalah sebuah karya yang mendalam tentang pemberdayaan perempuan, yang mengupas lapisan-lapisan transformasi sosial dan personal. Dengan menggunakan metafora tubuh, alam, dan simbol-simbol kekuatan tersembunyi, puisi ini mengeksplorasi perjalanan seorang perempuan dari keterkungkungan norma sosial menuju kebebasan. Kekuatan puisi ini terletak pada kontras antara kelembutan feminin dan ketegasan yang menyertai proses perubahan, menantang pandangan tradisional tentang peran perempuan dalam masyarakat.

AKULAH IGA, MENYIASATI BELULANG

demikianlah, kau melangkah
dari spa itu menuju lobby hotel
seakan mencari sesuatu dari dalam dirimu
penyimpan misteri, berkelindan bagai tengguli
di merah bibirmu, kau menyilet senyum dan membanting segala tabu

dulu, kisah ibu, salon kecantikan dan keluyuran di hotel sangatlah hina
kini justru kau tampak jumawa
menemukan sesuatu dari kegigihanmu
mengoyak segala buku, menguak rahasia alam

"akulah iga yang rapuh, namun sangat lentur dan mampu menyiasati segala belulang,"

maka ibu tak lagi sarang burung
yang diayun badai sambil mengharap
anak-anaknya pulang melepas lelah ke pangkuannya

"aku mengepak dan membubung sambil mematuk mungkin,"

katamu,
perempuan kini adalah betina
tak lagi diam di sarangnya.

Syarifuddin Arifin, Padang, 2020

Puisi ini menawarkan sebuah refleksi yang kuat tentang perubahan peran perempuan, transformasi sosial, dan pengungkapan kekuatan feminin dalam menghadapi norma-norma tradisional. Di sini, kita melihat sebuah perjalanan yang simbolis dan nyata---dari ibu yang dulu dianggap "lemah" dan terikat dengan peran tradisional di rumah, menjadi perempuan yang mandiri, berani, dan sadar akan kekuatannya.

1. Tema dan Makna

Tema utama dalam puisi ini adalah emansipasi perempuan dan pembebasan diri dari norma-norma sosial yang kaku. Penulis menggunakan simbol-simbol kuat untuk menggambarkan peran perempuan yang bertransformasi:

  • "Dari spa menuju lobby hotel": Spa dan hotel bisa dilihat sebagai simbol kebebasan, perawatan diri, dan eksplorasi. Melangkah dari spa ke lobby hotel bisa dimaknai sebagai metafora perjalanan seorang perempuan yang menemukan dan memelihara dirinya.
  • "Senyum menyilet": Kalimat ini menggambarkan kekuatan dalam kelembutan. Senyuman yang biasanya dikaitkan dengan sesuatu yang lembut dan menyenangkan, di sini diasosiasikan dengan tindakan yang tegas dan bahkan agresif, yaitu menyilet.
  • Ibu dan transformasi peran perempuan: Dulu, sosok ibu dikaitkan dengan kerendahan dan "hina" karena peran domestiknya. Kini, ibu bukan lagi sarang burung yang rapuh, melainkan sosok yang kuat, berani, dan mandiri.

2. Gaya Bahasa

Puisi ini kaya dengan penggunaan simbolisme dan metafora yang kuat, menggambarkan perubahan peran sosial dan pribadi perempuan.

  • Metafora tubuh perempuan: Iga yang "rapuh tapi lentur" menggambarkan kemampuan perempuan untuk bertahan dan beradaptasi di tengah tantangan. Ini juga bisa dihubungkan dengan narasi penciptaan dalam mitologi, di mana perempuan diciptakan dari tulang rusuk (iga) laki-laki, namun di sini penulis memberi reinterpretasi bahwa meskipun perempuan "rapuh," mereka sangat tangguh.
  • Penggunaan kata-kata yang kontras: Frasa seperti "menyilet senyum" dan "mengoyak segala buku" menciptakan benturan antara hal-hal yang lembut (senyum) dan kekerasan atau tegas (menyilet, mengoyak). Ini memberikan kesan bahwa perempuan, meskipun terlihat lembut, memiliki kekuatan yang tersembunyi.
  • Simbolisasi binatang dan alam: "Ibu tak lagi sarang burung" dan "perempuan kini adalah betina" menggambarkan perpindahan dari peran yang pasif dan domestik menuju peran yang aktif dan bebas.

3. Rima dan Irama

Puisi ini tidak mengikuti struktur rima yang kaku, tetapi lebih bersifat bebas. Alirannya terasa mengikuti ritme alami dari perjalanan pemikiran sang penulis. Ada jeda dan alur yang memudahkan pembaca untuk menyerap makna setiap frasa dengan mendalam.

4. Suasana (Mood)

Suasana puisi ini menggambarkan transformasi dan pemberdayaan. Dari suasana yang dulu dipenuhi stigma dan penindasan sosial, hingga perubahan menjadi keberanian dan kebebasan. Ada perasaan pembebasan yang jelas tercermin dari setiap bagian puisi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline