OLEH : ODORIKUS HOLANG
Selama Asian Games 2014 Incheon, 1.900 dari sekitar 9.500 atlet yang tampil telah menjalani tes doping. Hasil tes itu mendiagnosa atlet asal Tiongkok yang tersangkut doping dan Atlet itu terbukti menggunakan zat terlarang. Hal ini disampaikan oleh Komite Olimpiade Asia (OCA) yang menyatakan bahwa peraih medali emas lontar martil putri Zhang Wenxiu terbukti menggunakan zat anabolik. Dengan demikian, atlet yang bersangkutan didiskualifikasi dan medali emas yang diraihnya juga dicabut. (Media Indonesia, Sabtu, 4 Oktober 2014).
Segala usaha pasti ada hasilnya. Hal ini tidak terlepas dari perjuangan yang matang, serius dan fokus untuk mencapainya. Usaha itu bukan berasal dari orang lain melainkan dari dalam diri sendiri sebab prestasi yang didapat bukan pertama-tama membesarkan nama orang lain melainkan diri sendiri. Akan tetapi, amat disayangkan seperti kasus atlet asal Tiongkok yang mendoping dirinya dengan zat anabolik supaya mendapat prestasi dan diakui banyak orang di seluruh dunia. Sayangnya prestasi yang diraih itu tidak berdasarkan kerja keras sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan dan berlaku sehingga alhasilnya menjadi sia-sia belaka oleh karena tidak sportif dan harus menanggung beban psikologis yang dasyat.
Impak akutnya reputasinya menjadi coreng sebagai atlet ternama ditengah publik dan ketidakpercayaan terhadapnya menimbulkan beribu-ribu keraguan. Ada sikap skeptis yang tidak bisa berpaling dari kenyataan oleh karena ulahnya yang bobrok yang mana dia menggunakan jalan pintas untuk mendapatkan prestasi yang mulia itu sedangkan atlet yang lainnya bersusah payah dengan mengandalkan fisik dan psikis yang kuat dan keras. Bermain dalam kemaksiatan memang akan menuai hasil yang tidak pasti dan hal ini bisa dikatakan melacur diri dengan memamerkan kemaluan ditengah publik. Dengan demikian, perjuangan atlet ini semata-mata berorientasi untuk meraup kepentingan yang bersifat oportunis.
Pengalaman di atas melahirkan keraguan metafisis terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang baru dilantik kemarin yang menakodai bahtera nusantara ini lima tahun ke depan. Setelah dilantik, DPR baru membuat kericuhan saat sidang berlangsung. Indikator utamannya adalah merebut kursi pemimpin di parlemen. Dalam pergulatan ini, ada dua kubu yang beroposisi yaitu koalisi Indonesia hebat dan koalisi merah putih (KMP). Benar-benar demokrasi sialan.
Mengapa hal ini terjadi?. Secara politis, DPR telah tersangkut doping partai dimana segala perjuangan ditujukan demi kepentingan partai. Anggota dewan terpilih telah dihipnotis oleh kepentingan partai yang secara mentereng melegitimasi dirinya untuk menjalankan misi partai pengusungnya. Kericuhan saat sidang berlangsung merupakan cerminan sikap infantil yang tidak bisa dikompromi untuk diajak berdiskusi guna membahas kepentingan bersama. Tolak tunduk terhadap ideologi partai menjadi harga mati yang tidak bisa dibendung oleh kekuatan manapun walaupun itu mencederai nasib banyak orang (rakyat).
Akan tetapi, dapatkah memerangi doping itu?. Hemat saya, doping itu dapat diperangi apabila ada kemauan dari pihak yang telah didoping. Misalkan salah satu figur yang menjadi model adalah wakil Gubernur DKI Jakarta yang dengan tegas mengundurkan dirinya dari partai Gerindera. Mengapa demikian?. Pejuang demokrasi ini tidak menginginkan negara ini terjatuh dalam jurang kehancuran sebab indonesia tidak menganut sistem demokrasi abal-abal atau imajinasi belaka sehingga kiranya hal ini kiranya menjadi proyeksi fenomenologis bagi para politisi yang telah didoping partai sehingga kepercayaan rakyat harus dipergunakan sebagaimana mestinya dan bukan mereduksi kepercayaan itu dan membawanya ke dalam praktik kemaksiatan.
Oleh karena itu, dalam menjalankan sistem demokrasi yang benar haruslah mampu menjamin bahwa aparatur negara (khususnya DPR terhormat) tidak akan bisa menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri (partai) dan mencederai kepercayaan rakyat demi kepentingan yang menelurkan kebobrokan bagi negeri tercinta.
Adagium Lord acton yang terkenal adalah kekuasaan itu korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut pula (power tends to corrupt, absolute power corrups absolutely). Para politisi elit yang bergulat dalam dunia kekuasaan harus berani mengambil keputusan untuk mengatakan tidak terhadap kecenderungan kekuasaan yang korup supaya absoluditas kekuasaan yang korup tidak mengakar melainkan sirna dari ruang privatnya. Selanjutnya, doping partai pun tidak mempan dan berani menolak seperti wakil gubernur DKI Jakarta yang secara tegas menolak doping politik partai gerindera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H