Lihat ke Halaman Asli

Stephen Hawking dan Paradoks Praksis Demokrasi

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fisikawan terkenal dunia, Stephen Hawking secara tegas melontarkan gagasan yang dalam hemat kaum religius bahwa amat kontroversial. Dia secara tegas menolak eksistensi Tuhan dalam penciptaan alam semesta. Dia hanya lebih yakin pada penjelasan ilmu pengetahuan dalam asal-usul terciptanya alam semesta sebab penjelasan ini lebih bisa diterima akal dan lebih menyakinkan.

Eksistensi Tuhan hanya bernaung dalam penjelasan yang abstrak dan sulit diterima akal budi. Artinya bahwa keberadaan Tuhan tidaklah diterima secara umum akan tetapi pengakuannya hanya sebatas pada ranah iman. Pengakuan parsialitas ini menandakan bahwa ada eksitensi lain yang masih terselubung atau sudah menguak kepermukaan namun amat sulit dibuktikan validitas kebenarannya.

Oleh karena itu, lahirlah prinsip kebenaran paradoksal. Gagasan kebenaran ini berwujud dalam ambivalensi pengakuan kebenaran. Misalkan fisikawan Stephen Hawking menolak esksitensi Tuhan sedangkan kaum religius mengakui adanya Tuhan dengan landasan teoritis hubungan kausalitas.

Setidaknya ada dua kubu dalam kontroversi pengakuan ini yaitu ahli fisikawan, Stephen Hawking dan kaum religius. Keduanya sama-sama mempertahankan gagasan tentang eksistensi yang mutlak. Dalam hal ini terjadinya perang antara kaum ateis dan kaum religius. Namun, pertanyaannya, mengapa perdebatan ini terjadi?. Inilah pertanyaan reflektif yang kiranya didiskusikan secara bersama. Tapi, dalam hemat saya, terjadinya perbenturan gagasan mengenai eksistensi Tuhan dikarenakan oleh lemahnya iman terhadap Tuhan itu sendiri.

Iman absolut terhadap wujud tertinggi dengan mudah dimentahkan oleh ilmuwan ateis. Gagasan mutlak dengan mudahnya menolak doktrin agama bahwa alam semesta bukan ciptaan Tuhan sebab ada hukum seperti gravitasi alam semesta bisadan akan mencipta dirinya sendiri. Pandangan ini tertera dalam buku barunya “the grand design”. Hal ini dapat disimpulakn bahwa semua yang ada hadir dengan sendirinya.

Dengan demikian, refleksi filosofis dan teologis tentang eksistensi Tuhan seyogyanya berakar dan mulai dari hati yang teguh supaya dalam mempertahankan eksistensi yang mutlak dalam menjawab komentar kaum pragmatis ateis dapat membuktikan kebenarannya dalam hal praksis pula. Namun amat sulit apabila refleksi iman dari sudut pandang filosofis dan teologis jika tidak diimbangi dengan penguatan doktrin iman secara intens. Secara substansial, soal iman bukan berasal dari orang lain melainkan dari diri sendiri, oleh diri sendiri, dan untuk diri sendiri.

Dalam hal ini, silogismenya adalah jika ada wujud tertinggi, maka ada manusia. Ada hubungan kausalitas sehingga Tuhan dan manusia merupakan sebuah mata rantai vertikal yang tak putus dan lekang olah uji falsifikasi yang mana kebenarannya dipertanyakan berdasarkan pengalaman personal yang diakibatkan oleh praksis kehidupan yang serba teknologis.

Doktrin teknologi mutakir telah mencapai titik kulminasi kehidupan praktis manusia sehingga manusia pun terjebak dalam permainannya. Alhasilnya manusia zaman mutakir yang seolah-olah tidak berTuhan mendapat kesimpulan ilmiah yang dibangun berdasarkan silogisme praktis membenarkan gagasan Stephen Hawking yang menolak eksistensi Tuhan dan penciptaan alam semesta olehNya.

Pusat pemikiran Stephen Hawking, hemat saya terletak dalam silogisme praksis kehidupan yang dijelaskan di atas. Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa bangunan teori fisikawan brilian ini mendapat forma dan materi dari kehidupan manusia yang serba paradoksal dan tidak menentu titik arah dan tujuan yang pasti. Namun, jika ditelaah pemikiran stephen hawking bahwa dia lupa dengan prinsip pemikiran yang dibangunnya. Asal materi dan forma gagasannya tidak dijelaskan dalam bingkai kausalitas dimana gagasan itu hadir seperti “makluk halus” yang datang tanpa diundang dan pergi tak di hantar. Artinya bahwa tidak ada indikasi kehadirannya dalam ruang publik (baca: dunia).

Paradoks Praksis Demokrasi

Sementara itu, apa relevansinya dengan praksis demokrasi paradoksal yang terjadi sekarang ini?. Kita semua tahu bahwa demokrasi dalam definisinya adalah kepemimpinan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya bahwa rakyat yang berdaulat dan yang mendeterminasi lahirnya para pemimpin yang kompoten, berintegritas dan mempunyai kapabilitas untuk menakodai perahu Indonesia supaya terciptanya negara yang sejahtera sehingga terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Namun sayangnya demokrasi yang dijalankan bukan demokrasi presentasi melainkan representasi. Hemat saya disinilah letak paradoksal praksis demokrasi kita sehingga pertanyaan hipotesis bahwa apakah praksis demokrasi ini akan berjalan secara mulus?. Akhir-akhir ini nilai demokrasi secara substansial terjebak dalam aneka tafsir yang berakibat pada lahirnya aneka praktik pula.

Supremasi individu secara demokratis dengan mengedepankan mekanisme agregasi yang mana keinginan masing-masing individu telah disatukan dalam wadah kepercayaan untuk merepresentasikan para wakil supaya menempati kursi di atas singgasana pemerintahan. Namun, wadah kepercayaan ini telah dihancurkan oleh tirani aristokrasi dan mayoritas.

Kedua tirani ini secara tegas menolak eksistensi demokrasi demi memuaskan kepentingan satu kelompok yang meminggirkan kepentingan minoritas. Musyawarah dan mufakat yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar menjadi kedaluwarsa dan terpenjara dalam ruang privatnya. Semua ini terjadi dikarenakan oleh praktik politik para politisi yang haus kekuasaan. Amnesia kausalitas yang mana mereka lupa dengan asal muasal kehadiran mereka sebagai wakil rakyat atau pemerintah.

Pertanyaan menggelitiknya, mengapa bisa duduk di kursi singgasa legislasi dan pemerintahan?. Tentunya harus diketahui bahwa “saya ada karena ada yang mengadakan saya”. Dalam hal ini ada hubungan sebab akibat. Ada akibat karena ada sebab. Ada pemerintah dan dewan terhormat karena ada rakyat. Toh.. justru mempraktikkan kenyataan yang tidak demokratis.

Impaknya nilai demokrasi dalam praksisnya mengalami paradoks. Pengakuan terhadap demokrasi menuai kontroversi akut. Oleh karenanya demokrasi mendapat redefinisi yaitu kepemimpinan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk pemerintah serta dewan perwakilan terhormat. Sepak terjang dan geliat yang memilukan seperti ini dapat disimpulkan bahwa brilian dalam menjalankan mekanisme demokrasi tetapi busuk dalam mempraktikkannya.

Sakralitas demokrasi telah ditelanjangi oleh kebusukan para politisi yang haus kekuasaan yang berdiri di atas tirani mayoritas dan aristokrasi. Pada dasarnya, demokrasi bukanlah wadah persaingan bebas antara kelompok kepentingan atau individu melainkan wadah untuk melahirkan kesejahteraan bersama.

Dengan demikian, penafian secara tegas eksistensi demokrasi relevan dengan penolakan eksistensi Tuhan Stephen Hawking yang amnesia terhadap prinsip kausalitas. Intinya bahwa ketidaksadaran terhadap prinsip kausalitas harus disirnakan dari doktrin komprehensifnya. Jiwa perpolitikan seyogyanya berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang menghidupkan bukan mematikan. Stop amnesia kausalitas!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline