Lihat ke Halaman Asli

Ketika Feuerbach (Kita) Meragukan Keberadaan yang Maha Tinggi

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh : ODORIKUS HOLANG

Sejak penciptaan langit dan bumi serta segala isinya, manusia ingin atau mendambakan kehadiran sang pengada itu sendiri. Manusia selalu mencari tahu hakekat alam semesta ini secara total, baik secara filosofis maupun secara ilmiah dalam tataran dunia modern (baca: Stephen Hawking). Sementara itu, secara fundamental manusia adalah makhluk yang mencari tahu secara terus menerus tentang dinamika kehidupannya. Alasan mendasarnya bahwa hidup manusia selalu mengalir dan terus berubah. Karena itu pun, paradigma berpikir dalam mengevaluasi tentang realitas selalu beraneka ragam, entah itu persoalan secara epistemologis maupun metafisis.

Dengan demikian, salah seorang yang dengan tegas menelisik fenomena metafisis kehidupan manusia adalah Feuerbach. Dalam hal ini, ia mengkritisi eksistenti manusia yang mana patokan dasar kehidupan dari zaman klasik hingga zaman modern adalah kebutuhan akan kehidupan beragama menjadi hal primer. Pada posisi ini, ia mengkritisibahwa Allah merupakan hasil proyeksi dan alienasi manusia. Allah hanyalah bayangan palsu yang diciptakan manusia. Lalu, manusia berteduh dan memohon kepada Allah sembahannya untuk mendapatkan kebahagiaan yang sempurna. Kemudian, Feuerbach mengatakan bahwa agama timbul keluar dari hekekat manusia sendiri yaitu sifat egoismenya dari pendambaan terhadap kebahagiannya.

Dalam hal ini, manusia secara psikologis mendambakan sesuatu yang tersembunyi untuk mengobati luka-luka dalam hidupnya. Sebab manusia pada galibnya membutuhkan kebahagiaan untuk mewarnai hidupnya tatkala manusia mengalami kecemasan, kegalauan, kegundahan dalam hidupnya. Karena itu, penyembuhan secara rohaniah sangatlah diperlukan. Apabila hal ini tidak diperoleh secara total maka manusia pun selalu terkungkung dalam situasi batas tersebut. Hal inilah yang ditantang oleh Feuerbach, di mana manusia seolah-olah makhluk yang tidak bisa melakukan segala hal. Pasrah menjadi makanan empuk yang notabene tidak seharusnya dilakukan. Berikut beberapa konsep Feuerbach tentang agama

ALLAH SEBAGAI PROYEKSI

Hakikat Allah tak lain dari pada hakikat manusia yang diabsolutkan dan diobjektifikasikan. Atau bisa dikatakan bahwa Allah adalah hasil proyeksi diri manusia sendiri (F. Budi Hardiman, 2004). Dalam hal ini, bukan Allah yang menciptakan manusia, melainkan manusialah yang menciptakan Allah. Maksudnya bahwa manusia pada hakekatnya berpikir tentang kesempurnaan, menghendaki kebahagian dan megalami cinta. Atas dasar ini maka manusia memikirkan sesuatu yang tidak terbatas sehingga manusia menciptakan atau mengilusikan eksistensinya secara metafisis.

Berhubungan dengan konsep ini, proyeksi akan eksistensi yang tak terbatas itu terjadi dalam tiga tahap. Pertama. Manusia sebagai individu yang konkret menyadari keterbatasannya dan serentak menyadari apa yang tak terbatas. Misalnya kebahagiaan sempurna, kemerdekaan tanpa ikatan, kasih tanpa pamrih. Kedua. Yang tak terbatas dalam kesadaran manusia itu diproyeksikan keluar, dianggap sesuatu yang berdiri sendiri di luar manusia. Ketiga. Yang tak terbatas itu dipersonifikasikan sebagai Allah dan manusia menyembah Allah itu. Alhasil dari proyeksi itu adalah menciptakan kenyataan yang obyektif yang sebenarnya bahwa hal itu merupakan bentuk objektifikasi terhadap kesadaran diri manusia sendiri.

AGAMA SEBAGAI ALIENASI

Feuerbach mengatakan bahwa proyeksi diri itu adalah alienasi diri. Alienasi yang dimaksudkan adalah keterasingan dari diri karena menggantungkan hidup pada bayangan kosong oleh sebab manusia pada dasarnya tidak berani memikul tanggungjawabnya sendiri.

Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan memproyeksikan dirinya keluar maka manusia menganggap hasil proyeksi itu sebagai sesuatu yang lain dari dirinya sendiri. Proyeksi itu merupakan sebuah kenyataan otonom yang berdiri diri diluar dirinya dan menghadapi dirinya. Atas dasar ini maka manusia menganggap dirinya paling hina atau paling dipojokkan seperti manusia itu tidak berdaya, jahat, sedangkan Tuhan itu mahakuasa dan suci adanya. Feuerbach menganggap proses ini dalam pantauan terhadap sikap manusia bahwa manusia malah terasing dari dirinya sendiri sebab ia tidak lagi mengenali bahwa Allah yang diagungkannya itu tidak lain dari hakikatnya sendiri.

Sementera itu, bisa dikatakan bahwa manusia memiskinkan dirinya seraya memperkaya Allah. Sesudah itu manusia merasa miskin dan tak berdayadan mengharapkan keselamatan dari Allah yang diciptakannya sendiri. Sebenarnya manusia harus bahagia dengan pilihannya bukannya terkungkung dalam pengobyekkan terhadap diri sendiri dan menganggap lemah yang pada hakekatnya kuat baik jasmaniah maupun secara rohaniah.

PEMBEBASAN MANUSIA

Feuerbach tidak hanya semena-mena mengkritisi eksistensi agama. Akan tetapi, ia membuat suatu solusi seraya membebaskan manusia dari kungkungan ilusi hasil ciptaannya. Feuerbach mengambil filsafat sebagai pembebas bagi manusia untuk menemukan kembali hakekatnya. Dalam hal ini, ia melihat bahwa teologi sebenarnya mengajarkan sesuatu yang sangat penting, asal saja topengnya harus dibuka. Allah harus diganti dengan hakekat manusia. Dengan kata lain, teologi harus menjadi antropologi.

Dalam proses antropologi itu, manusia harus menjadi Allah untuk sesamanya yang lain. Sahabat-sahabat Allah yang diilusikan itu harus menjadi sahabat-sahabat manusia. Dengan kata lain, titik tolaknya adalah manusia. Pengalaman manusia menjadi indikator utama untuk melihat realitas secara utuh. Hakekat manusia menjadi hal primer yang harus diabadikan sehingga keterasingan terhadap diri bisa diatasi. Basis lagitimasi argumen ini adalah manusia itu sendiri bisa menjadi sahabat untuk sesamanya, entah dalam situasi apapun yang menggerogoti eksistensi manusia.

CATATAN UNTUK FEURBACH (kita)

Persoalan agama yang digagaskan oleh Feuerbach bahwa agama merupakan hasil ilusi manusia. Secara tegas penulis menegasikan anggapan Feuerbach tentang agama itu sendiri. Pada posisi ini penulis melihat bahwa agama sebagai ilusi yang dikritisi oleh Feuerbach itu tidak benar. Bagaimana mungkin agama bisa bertahan lama di dalam sejarah umat manusia kalau agama itu adalah ilusi dan merupakan satu kesalahan. Dengan demikian, penulis mempunyai dua catatan sebagai kilas balik kritik terhadap pemikiran Feuerbach.

Pertama, tesis Feuerbach yang mengatakan bahwa agama merupakan proses alienasi diri manusia. Maksudnya manusia memojokan dirinya sendiri dalam kategorinya bahwa manusia itu lemah, tak berdaya sedangkan Tuhan sendiri adalah mahakuasa, pengampun dan penolong. Hal ini dapat dilihat pada posisi manusia yang mengalami situasi batas. Manusia secara fundamental adalah makhluk yang lemah dan tidak sempurna. Oleh karena itu, dalam situasi batas ini manusia memerlukan yang tak terbatas itu, sebab manusia tidak bisa berjalan sendiri tanpa ada mediator yang mengendalikan mesin kehidupannya. Hal ini sebagaimana seharusnya perlu digaris bawahi dan diafirmasi secara definitif.

Di sisi lain, penulis melihat bahwa kritikan Feuerbach ini hanya bertitik tolak pada aspek psikologis. Hal ini bisa diafirmasi bahwa manusia secara psikologis dalam dirinya sendiri pasti mencari kebahagian yang sempurna. Akan tetapi, Feuerbach menegasikan persoalan hakekat Allah itu sendiri. Ia tidak memperhatikan secara ontologis eksistensi Allah bahwa apakah Allah itu ada atau tidak. Apabila ada secara metafisis yang melampaui pemikiran manusia maka kritikan Feuerbach ini dengan sendirinya akan lumpuh total.

Kedua, penulis senada dengan Emile Durkheim yang mana ia mengkritisi pemikiran Feuerbach tentang agama sebagai ilusi. Ia katakan bahwa mungkin kepercayaan pada agama-agama tertentu kelihatan ganjil, akan tetapi ia melihat persoalan ini cukup teliti bahwa orang harus melihat hal-hal yang termaktub dalam agama sebagai simbol-simbol dalam mengungkapkan relasinya dengan wujud tertinggi. Dalam hal ini bahwa orang harus bisa menangkap makna dari simbol-simbol itu agar mereka bisa memberikan apresiasi terhadap apa yang mereka ungkapkan.

Selanjutnya, dalam memahami agama-agama dalam konteks simbol maka agama itu sendiri tidak salah. Sebab dalam dirinya sendiri agama itu benar karena dalam dirinya itu agama memiliki sejumlah unsur yang merupakan tolok ukur fundamental. Kemudian Emile Durkheim juga mengatakan bahwa agama yang paling primitif sekalipun pasti mengandung kebenaran, walaupun kebenaran yang tidak sesuai dengan kebenaran yang diterima umum.

Dengan demikian, agama sebagai ilusi dan alienasi diri manusia merupakan sebuah kesalahan yang sangat fundamental. Agama pada dasarnya memiliki simbol dalam dirinya sendiri. Simbol-simbol itulah yang dihayati oleh masing-masing para pemeluknya sehingga agama itu selalu eksis dalam dirinya sendiri.

Sedangkan anggapan-anggapan terhadap agama merupakan wujud prematur pemikiran yang tidak ditelaah secara definitif. Sebab agama bukan merupakan institusi yang didirikan tidak berdasarkan pertimbangan rasional. Dengan kata lain, untuk apa agama secara ontologis ada jikalau tidak berdasarkan ukuran dan secara in se memiliki nilai yang dapat menjadi pedoman untuk kehidupan manusia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline