Lihat ke Halaman Asli

Politikus di Negeri Tandingan

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: ODORIKUS HOLANG

Negara Indonesia saat ini sedang bertanding. Bola politik sedang dimainkan oleh partai politik. Trofi kekuasaan sedang dipajang dan masih diperebutkan layaknya pertandingan liga Eropa yang amat atraktif dan menggugah perhatian publik (fans).

Para politikus sedang bertanding dalam babak pengisian grup. Bola kekuasaan sedang diperebutkan. Aturan pertandingan pun telah dirancang sedemikian rupa demi menjunjung tinggi nilai sportifitas dalam permainan. Misalkan pertandingan bola kaki.

Dalam pertandingan ini, setiap kesebelasan wajib menaati peraturan yang telah ditetapkan secara bersama. Aturan dibuat pun sebelum pertandingan itu dijalankan sehingga kemandekan dalam pelaksanaannya tidak mempengaruhi keadaan yang sedang berjalan.

Pengisian grup kekuasaan untuk sementara yang memimpin klasemen adalah dari dua partai penguasa yaitu Geridera dan PDIP. Mengapa kedua partai ini?. Kedua partai ini telah dipercayakan oleh rakyat untuk bekerja secara efektif . Efektifitas itu dipercayakan kepada figur pilihan rakyat yang memiliki kapabilitas, berintegritas, humanis dan berwibawa. Oleh karena itu, partai yang dominan figurnya dipercayakan rakyat maka partai tersebut wajib memimpin klasemen grup.

Lalu, bagaimana dengan partai politik yang berada pada posisi Runner up?. Atau sedikit menanggung kepercayaan rakyat?. Partai-partai demikian seperti yang diketahui bahwa partai-partai itu memilih untuk berkoalisi dengan kedua partai yang memimpin klasemen sementara. Dengan alasan supaya memudahkan mengendarai roda kekuasaan. (?????).

Pertandingan pun terus berjalan untuk merebut posisi perempatan final. Dalam pertandingan perempatan final ini, kedua partai penguasa ini saling mempertahankan prestise masing-masing. Pelaksanaan perempatan final pun terganjal dengan berbagai persoalan krusial yang dihadapi (baca: RUU PILKADA tak langsung, RUU MD3 dan polemik pemimpin DPR serta DPD).

Aksi frontal dalam menanggapi situasi yang tidak bersahabat pun terjadi. Kedua kubu membuat kegaduhan yang tidak diinginkan. Sikap infantile membahana dalam ruang perebutan kursi kekuasaan. Amburadul tanpa mengikuti formasi yang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan secara bersama. Alhasil, keputusan siapa yang berhak melaju ke semi final menuai prahara karena keputusan yang diambil adalah sepihak.

Dalam hal ini, kedua kubu membuat keputusan tandingan. Oleh karena itu, penonton pertandingan memberikan evaluasi buruk terhadap kedua kubu yang maniak kekuasaan. Opini publik bahwa pertandingan itu dipolitisasi kaum elit untuk merebut kekuasaan semata dengan menghilangkan regulasi yang telah ditetapkan atas hasil musyawarah dan mufakat.

Dengan demikian, nilai yang diperoleh pun sama dan yang berhak menuju ke semifinal adalah partai polesan koalisi di mana kedua kubu membentuk kekuatan supaya kursi kekuasaan dimiliki oleh masing-masing kubu. Amat ironis tapi fakta telah dipertontonkan kepada publik sehingga dampaknya adalah pertandingan pun bukanlah keseriusan yang menapak tilas berdasarkan orientasi awal melainkan keputusan sepihak dari masing-masing kelompok.

Kini ruang kekuasaan terbelah dan terbagi dua. Ada benteng yang menyekat kedua kubu. Kubu yang satu dan lainnya mengklaim bahwa pertandingan yang telah dijalankan dimenangkan oleh masing-masing kubu. Dan partai final pun gagal bertanding karena mandek dalam mempertahankan ego masing-masing. Oleh karenanya, amat disayangkan, demokrasi yang mulia ini nilai sakralnya telah dinodai oleh karena tujuan kepentingan kelompok.

Para politikus hidup di negeri tandingan bukanlah hal yang mustahil sebab pertandingan antara kedua kubu hingga sekarang belum kunjung usai. Hendak di bawah ke mana demokrasi ini apabila para politikus selalu bertanding ingin merebut kekuasaan?. Mengutip adagium JOKOWI “kerja, kerja dan kerja” adalah suatu kewajiban yang pantas dilakukan sesuai dengan porsinya.

Rakyat mengutus perwakilan ke Senayan bukan untuk bermain dadu kekuasaan atau menciptakan dualisme kekuasaan melainkan dipercayakan untuk mengurus negeri ini supaya meminimalisir kesenjangan dari berbagai sektor baik ekonomi, politik, hukum, HAM atau budaya itu sendiri. Dengan demikian, mengaplikasikan konsep tujuan berdirinya negara yaitu kesejahteraan bersama saatnya dipraktikkan. Kalau bukan sekarang kapan lagi.

*Penulis adalah kuli tinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline