Lihat ke Halaman Asli

Hara Nirankara

Penulis Buku

Kritik Sosial atas Fenomena Cowok Tulang Lunak

Diperbarui: 1 Juni 2021   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar via Tempo

Pada era keterbukaan informasi seperti sekarang ini nyatanya membawa berbagai angin perubahan, salah satunya tentang kebebasan berekspresi dalam bersuara yang dilakukan oleh komunitas LGBT. Mereka menyuarakan tentang pemenuhan hak yang sama, menolak intimidasi maupun diskriminasi yang selama ini diterima oleh mereka. 

Bahkan, banyak dari mereka yang "seolah" menemukan jati dirinya dalam hal berbusana hingga operasi kelamin. Munculnya konten joget tiktok yang dilakukan oleh "cowok tulang lunak", merupakan imbas dari keterbukaan informasi. Namun jangan salah paham dulu, kemunculan mereka bukan berarti tanpa suatu sebab.

Budaya populer menurut mazhab Frankfurt yaitu, sebuah budaya massa yang dihasilkan oleh Industri budaya guna menjaga stabilitas kapitalisme. Sedangkan menurut jurnal visi komunikasi oleh Mulyana, Posmo memandang budaya populer membungkus berbagai perubahan dalam peranan media massa yang menghapuskan antara citraan dan realitas, sehingga menciptakan false-consciousness.

Fenomena cowok tulang lunak yang joget di tiktok juga tidak terlepas dari peran media massa, mereka menjadi follow market dari seorang role model yang diciptakan oleh budaya populer. Lelaki modern dipersuasi untuk peduli terhadap kesempurnaan setiap jengkal tubuhnya, para lelaki diarahkan untuk mendisiplinkan diri dalam perawatan tubuh seperti halnya perempuan. Artinya role model pria itu mengkonstruksi perilaku feminine bagi para lelaki sebagai keseharian gaya hidup mereka.

Demi gaya dan citra diri, para lelaki modern secara sukarela merawat tubuhnya seperti halnya perempuan, misalnya memakai parfum, facial, pembersih wajah, pelembab (moisturizer), spa, atau bahkan merawat kuku-kukunya. Bahkan seorang dokter bedah plastik, Enrina Diah mengatakan, dulu orang malu-malu untuk operasi plastik sekarang malah bangga. "Yang datang ke sini pun bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki" (Kompas Minggu, Sosialita dan Trend, Oktober 2009).

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perawatan tubuh bagi pria, namun sayangnya dalam era keterbukaan informasi saat ini justru menciptakan satu fenomena "delusi" bagi yang bersangkutan.

Pada paragraf pertama Saya memakai kata "seolah" untuk menggambarkan kondisi cowok tulang lunak, kemudian pada paragraf di atas Saya memakai kata "delusi". Menurut Saya, cowok tulang lunak yang kontennya menjamur di media sosial menggunakan fashion layaknya perempuan, make up layaknya perempuan, adalah salah satu bukti delusi dalam anggapannya mengenai jati diri.

Saya kasih contoh, misalkan si A seorang pria secara fisik tetapi ia merasa dalam dirinya adalah seorang perempuan. Berangkat dari budaya populer dalam media massa yang ia terima, ia melihat banyak pria yang memakai make up, fashion layaknya perempuan, maka ia akan meniru apa yang dilakukan oleh pria dalam media massa itu. Ia menganggap bahwa seperti itulah jati dirinya, bentuk "self love" yang ia coba pertunjukan. Tapi sayangnya hal itu adalah sebuah delusi, manipulasi dari nafsu dan ego yang ada di dalam dirinya.

Kenapa Saya mengatakan "nafsu" dan "ego"? Orang itu mengikuti nafsunya untuk terlihat feminin, girly, sesuai dengan kepribadian maupun orientasi seksualnya. Egonya mengalahkan akal sehatnya untuk menolak jebakan dari budaya populer, sehingga terjadilah yang disebut "self love" menurut versi mereka sendiri.

Di sini Saya tidak membahas masalah kodrat, Saya pun tidak kontra dengan eksistensi mereka. Yang Saya sayangkan, mereka mengikuti ego dan nafsunya sehingga berhasil menjadi konsumerisme budaya populer. Dan, kesan apa yang timbul dari cowok tulang lunak itu? Tentu terasa aneh, tidak masuk akal, edan! Contoh lain yaitu Justin Bieber yang mengenakan rok dalam musik videonya, hal itu tentunya bertujuan untuk menciptakan trend center baru bagi para pria agar menggunakan rok. Dan yang terjadi? Lagi-lagi masyarakat disuruh mengikuti perkembangan zaman yang tidak masuk akal, hingga akhirnya produk (rok) mereka laku.

Saat ini kita tidak bisa membedakan mana citraan dan mana realitas, kita tidak bisa membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan, kita terperangkap oleh ego dan nafsu yang muncul akibat budaya populer yang didominasi oleh media massa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline