Sebenarnya bahasan kali ini sudah sering Saya singgung dalam banyak thread, dan Saya juga selalu menunggu saat-saat ini tiba, di mana Saya akan kembali membahas ketika topik itu mencuat ke permukaan. Yup, bahasan ini adalah seputar dinar dan dirham sebagai alat transaksi, yang katanya ada dalam sebuah komunitas. Namun sebelum menuju ke inti pembahasan, ada baiknya Saya beri pendahuluan dalam sisi hukum di Indonesia.
Saya kutip dari laman dpr.go.id , Mata Uang diperlukan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional dan internasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini pengaturan tentang macam dan harga Mata Uang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum diatur dengan undang-undang tersendiri, sehingga perlu dibentuk Undang-Undang tentang Mata Uang.
Sedangkan dasar dari UU Mata Uang diantaranya, UUD 1945 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23B dan UU Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Dalam UU itu mencakup tentang harga, nilai, bentuk fisik, penggunaan, larangan hingga desain dari uang rupiah. Maka sudah jelas, penggunaan dinar dan dirham sebagai alat transaksi dilarang di Indonesia, karena bertentangan dengan UUD.
Nah, banyak orang beranggapan bahwa, dinar dan dirham sama seperti OVO, DANA, GoPay, dan semua jenis e-wallet yang saat ini berkembang. Padahal, e-wallet yang saat ini ada di Indonesia, merupakan bentuk non fisik dari rupiah. Yang artinya? Nilai, jenis, hingga penggunaannya sama dengan rupiah bentuk fisik.
Ada juga yang membandingkan dengan bitcoin dan dollar, padahal, dollar digunakan untuk pasar internasional sedangkan bitcoin merupakan jenis produk yang mempunyai nilai seperti emas. Ketika ada orang bertransaksi menggunakan bitcoin di Indonesia, apakah dapat diterima? Tentunya tidak, pertama berkaitan dengan UU, yang kedua karena faktor penggunaan dari bitcoin itu sendiri yang harus ditukar dulu dengan rupiah agar bisa digunakan untuk bertransaksi di pasar fisik. Sedangkan dinar dan dirham? Harus ditukar dengan rupiah agar ada keselarasan dengan nilai dengan produk yang akan dibeli.
1 Dinar dengan berat 4,25 gram nilainya sebesar 3.488.408 Rupiah (kurs hari ini), sedangkan 0,5 Dinar dengan berat 2,13 gram nilainya 1.769.376 Rupiah (kurs hari ini). Ketika kita hendak membeli 10 kg beras dengan membayar sebesar 0,5 Dinar, apakah nilainya balance dengan produk? Tentu tidak. Penjual bisa saja menerima pembayaran itu, dan mendapatkan untung berkali-kali lipat, karena harga 10 kg beras berkisar pada nominal 120.000 Rupiah. Namun tindakan ini dilarang oleh UU, maka dari itu, Dinar atau Dirham bukan sebuah alat untuk transaksi.
Lalu, apa kegunaan Dinar dan Dirham untuk saat ini? Jawabannya adalah sebagai investasi. Kalian bisa membeli Dinar dan Dirham ketika harganya turun, dan bisa menjualnya ketika harganya naik. Inilah persamaan antara Dinar/Dirham, Emas batangan, Bitcoin, Dollar/Valuta asing, hingga lembar saham.
Sekarang mari kita bicara mengenai Dinar dan Dirham dilihat dari dampaknya, yaitu untuk alam di bumi. Coba bayangkan, apa yang akan terjadi ketika Dinar/Dirham digunakan oleh semua orang di bumi? Yang paling utama adalah, alam akan dieksploitasi habis-habisan, bumi akan terus dikeruk demi mendapatkan bahan baku Dinar/Dirham. Imbasnya? Bumi akan semakin rusak, ekosistem akan rusak, alam tidak lagi balance. Dampak ini tentunya akan dirasakan bukan hanya oleh flora dan fauna, tetapi juga oleh umat manusia.
Kita lihat Freeport dan semua tambang emas di seluruh dunia, apakah kegiatan itu tidak merugikan alam? Dan siapa yang diuntungkan dari penambangan emas? Sama halnya dengan Zaim Saidi sebagai pemegang pasar muamalah, sosok itulah yang diuntungkan dengan penggunaan Dinar/Dirham di Indonesia. Sedangkan sipil biasa? Mereka hanya ditipu dengan embel-embel agama. Dan yang jadi pertanyaan, sampai kapan mereka akan terus tertipu dengan bisnis Dinar/Dirham yang berlabelkan agama? Jawabannya akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Kesimpulannya adalah, Dinar/Dirham tidak cocok digunakan untuk alat transaksi, karena nilai tawar dari sebuah produk yang akan ditukar dengan Dinar/Dirham, sulit untuk ditentukan. Kedua, Dinar/Dirham merupakan instrumen dalam investasi, sama halnya dengan Bitcoin, Dollar (valuta asing), emas antam (dan juga yang digital) hingga lembar saham. Ketiga, bahan baku Dinar/Dirham akan habis dan dampaknya akan merusak lingkungan jika dieksploitasi habis-habisan karena alat transaksi itu digunakan oleh semua negara. Keempat, yang diuntungkan dengan bisnis ini adalah pemegang pasar muamalah. Sedangkan sipil biasa? Mereka hanya konsumen, follow market, yang sedang apes karena ditipu dengan embel-embel agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H