Lihat ke Halaman Asli

Hara Nirankara

Penulis Buku

Spiritual Bonding: Behind the Story

Diperbarui: 28 Oktober 2020   15:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Namaku Asytar Kayvan, biasa dipanggil kay. Umurku 26 tahun, seorang pria yang hidup tanpa pendamingan orangtua. Mamaku meninggal dunia ketika melahirkan Altair Kayvan, adikku yang sekarang berusia 24 tahun. Seorang adik laki-laki yang Aku pikir bisa membantu bebanku dalam mencari penghidupan. Sedang papaku? Kemana dia? Papaku langsung menikah lagi ketika usia kematian mama baru genap 2 bulan. Sejak saat itu hingga hari ini, Aku dan Altair tidak pernah bertemu lagi dengannya. Sebelumnya kami hidup bersama bibi (tetangga) yang hidup sebatang kara. Namun bibi meninggalkan kami ketika usiaku menginjak 14 tahun.

Menyedihkan memang. Tapi ini merupakan fakta pahit yang harus Aku terima, kemudian berusaha bertahan hidup semampunya. Aku tak banyak memiliki waktu untuk bermain dengan teman-teman, bahkan waktu untuk beribadah pun, tak sempat. Aku harus sibuk mencari uang, untuk membiayai pendidikanku yang saat itu masih kelas 3 SMP, dan juga untuk biaya pendidikan Altair yang baru memasuki tingkat SMP. Jika dikata berat, memang berat. Masa kanak-kanak yang seharusnnya Aku dapat, tidak bisa Aku rasakan. Menyedihkan, kurang beruntung. Dua kata itu seriang Aku dengar dari mulut teman-temanku. Namun Aku bisa apa? Aku tidak mungkin melayangkan protes kepada Tuhan atas nasibku kini.

Aku hidup bagaikan bintang, yang harus dapat memberikan cahaya bagi adikku. Karena memang namaku artinya bintang (Asytar), yang harus berpijar di semesta (Kayvan) yang gelap. Altair merupakan salah satu bintang yang paling terang, berada pada rasi bintang Aquila. Ya, Aku harap sinar Altair tetap terang benderang di alam semesta, untuk memberikan semangat kepadaku yang harus berjuang di usia muda.

Aku bekerja di salah satu warung makan kaki lima milik Bu Dari, seorang wanita baik hati yang iba kepadaku semenjak kematian Bibi. Aku bekerja sebagai pelayan dan tukang cucui piring, yang dibayar 30 ribu rupiah setiap harinya. Tidak ada hari libur, warung Bu Dari buka setiap hari. Paling sesekali saja libur, ketika Bu Dari jatuh sakit. Bagiku, upah 30 ribu sudah bagus, ditambah Bu Dari selalu memberiku makan, dan ketika Aku pulang pun selalu dibungkuskan makan untuk kebutuhan Altair. Namun Aku beruntung, setidaknya masih ada rumah peninggalan bibi yang bisa Aku tempati. Sebuah rumah sederhana yang lantainya terbuat dari semen, dindingnya terbuat dari papan-papan kayu, dan hanya tersedia satu kamar tidur.

Ukuran kamar tidurku tidak besar, 3x3 meter dengan satu lemari pakaian yang sudah tua. Tidak ada plafon, sehingga ketika hujan datang, rintikan air itu mengenai kasur di beberapa sisi. Aku pun tak punya televisi, bahkan radio pun tidak. Satu-satunya hiburan yang Aku miliki selepas lelah bekerja adalah Altair.

Tiap harinya Aku berangkat kerja pukul 2 siang, selepas pulang sekolah. Aku pulang ke rumah pukul 10 malam, karena warung Bu Dari hanya beroperasi sampai pukul 9:30 malam.

Selepas Kepergian Bibi

"[mengetuk pintu] Ta, Alta. Kakak pulang." Tak lama Altair membukakan pintu, diiringi senyuman bahagia yang setiap harinya diberikan kepadaku. "Kamu belum tidur?" tanyaku semmbari melangkahkan kaki ke ruang tengah. "[meletakkan makanan di meja] Makan gih, abis itu langsung tidur." Suruhku. Altair memakan makanan yang Aku bawakan dengan lahap, karena memang sedari siang dia belum makan, hanya bisa membeli jajanan kantin untuk mengganjal perutnya yang mulai keroncongan. Sementara Aku langsung membersihkan badanku yang sudah bau keringat karena bekerja seharian. Kamar mandi ini pun sangat sederhana. Tidak ada bak mandi, hanya tersedia ember berukuran lumayan besar dan sebuah sumur tua. Altair selalu menyiapkan air untuk Aku mandi, hal sederhana seperti inilah yang mampu mensugestiku untuk selalu semangat dalam bekerja. Setelah selesai mandi, Aku bergegas ke ruang tengah, duduk di sebelah Altair yang hampir menghabiskan makanannya.

Salah satu hal yang Aku sukai adalah, ketika melihat adikku makan dengan lahap, menikmati nasi yang lauknya sederhana namun terasa sangat nikmat ketika disantap dalam keadaan yang lapar. Wajah Altair begitu manis, wajahnya bersih dengan warna kulit sawo matang. Wajahnya yang oval menambah kesan manis dengan mata yang indah. Bibirnya yang merah muda semakin menyempurnakan dirinya. Rambut lurusnya selalu Aku usap, bahkan seperti sekarang, ketika ia sedang lahap menyantap makanannya. Kemudian Aku lekas masuk ke dalam kamar tidur, merebahkan badanku yang sudah lelah di atas kasur yang terbuat dari kumpulan kapas. Kamar kecil yang selalu terlihat rapih karena dirawat oleh Altair. Tidak adanya kipas angin membuatku terpaksa tidur dengan bertelanjang dada, menggunakan kolor yang sudah bolong-bolong di beberapa bagian. Aku tidak tahan jika harus menggunakan baju ketika tidur, hawa panas rumah ini tak mampu membuatku tidur dengan nyenyak.

Tak lama kemudian, Altair yang sudah selesai makan menghampiriku, merebahkan badannya di sebelahku, dengan tangan kanannya yang memeluk tubuhku. Altair selalu memelukku sebelum matanya terpejam, dan Aku juga memeluk tubuhnya dengan tangan kananku yang merangkul tubuh kecilnya. "If I ruled the world, every day would be the fist day of spring. Every heart would have a new song to sing. And we'd sing of the joy morning would bring. If I ruled the world, every man would be as free as a bird. Every voice would be a voice to be heard. Take my world, we would treasure each day that occured." Terkadang Aku menyanyikan lagu itu untuk membuatnya tertidur. Dan setelah dia tertidur, Aku mulai memejamkan mataku yang lelah agar bisa melanjutkan hidup esok hari.

Tak banyak waktu yang bisa Aku habiskan bersama Altair, tak banyak perhatian yang bisa Aku berikan kepadanya. Mungkin hanya dengan pelukan hangat sebelum tidur, story telling, dan juga waktu di pagi hari yang bisa Aku manfaatkan agar tetap dekat dengan Adikku. Beruntungnya Aku, Altair tidak banyak menuntut seperti kebanyakan anak seusianya. Dia lebih sering meminjam kepunyaan temannya daripada merengek meminta kepadaku. Walaupun begitu, tetap saja Aku merasa sedih karena tidak bisa memenuhi kebutuhannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline