Lihat ke Halaman Asli

Hara Nirankara

Penulis Buku

Onani Kehidupan

Diperbarui: 4 Agustus 2020   23:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image via renunganlenterajiwa

Suatu saat akan ada orang yang begitu bersemangat, menggebu-gebu ketika mendapatkan pelajaran baru. Pelajaran yang berhasil membuatnya bersemangat. Pelajaran yang membuatnya tertarik. Pelajaran-pelajaran itu Ia peroleh dari buku, dari film, dari tulisan yang tersebar di dunia yang tak berbentuk. 

Pelajaran itu berhasil memantik daya berpikirnya, hingga secara sadar dan bangga memamerkan kepada khalayak ramai. Bahasa-bahasa intelektualitas, diksi-diksi yang sulit dipahami oleh orang banyak. 

Entah, kiranya kepuasan macam apa yang berhasil mengkudeta logikanya. Hingga membuat Ia merasa paling berilmu, merasa paling tinggi tingkatannya, merasa berhak mencemo'oh lewat satire-satire, merasa berhak merendahkan orang lain. Ditambah tepukan tangan, dukungan dari orang yang terkagum-kagum kepadanya. Dan itu berhasil membuatnya seperti sedang berjalan di atas angin.

Orang-orang yang seperti itu banyak Aku temui, dan hampir semuanya mendeklarasikan diri sebagai insan yang progresif. Coba tebak, siapa mereka? Aku tidak akan memberikan jawaban, maka terkalah hingga Kamu benar-benar mengerti.

Aku sudah pernah berkata, bahwa Aku telah melalui banyak fase kehidupan. Dan Aku adalah salah satu dari orang di atas, yang dengan bangga mempertontonkan kebodohan, yang dianggap oleh segelintir orang sebagai perpustakaan bernyawa. 

Dan kini tersadarlah Aku, ternyata berada di fase itu begitu memalukan, menyedihkan, dan juga menyakitkan. Tak peduli berapa ratus buku yang terkhatamkan, jika masih sebatas teori, maka tersesatlah seumur hidup. 

Dunia ini begitu luas, bahkan miliaran kali lebih luas dari buku-buku. Betapa kecilnya diri ini. Betapa menyedihkannya diri ini di dalam alam semesta yang Maha Tak Terjangkau.

Ketika Aku melihat orang, orang yang berada di fase yang sudah Aku lalui, betapa kerasa tamparan itu menimpaku. Orang-orang dengan segudang buku mempermainkan diksi-diksi, bahasa-bahasa intelektual, sedang mereka tidak sadar. Mereka tidak sadar, bahwa mereka sedang terjebak di dalam labirin yang Maha Membingungkan. Yaitu Paradoks.

Mereka berbicara kepadaku seolah Aku adalah orang bodoh, tidak memahami permainan kalimat mereka. Seolah Aku ini layak untuk dihajar dengan kalimat-kalimat fiksi. 

Tapi, ya. Aku sama sekali tidak marah, dendam, atau melakukan hal yang sama. karena memang pada faktanya diri ini teramat bodoh dibanding alam semesta. Namun nyawaku semakin lelah, ketika mereka terus asik menikmati penjara bernama onani intelektualitas. Ingin rasanya Aku berbalas menampar, tapi buat apa? Setiap orang mempunyai prosesnya masing-masing, sama halnya dengan diriku.

Sayangku. Dunia ini tak sesempit pola pikirmu. Dunia ini tak sesempir caramu berbicara. Dunia tak sesempit buku-bukumu. Ada banyak sekali karakter, cara berpikir, landasan hidup, dan juga gaya memaknai kehidupan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline