Lihat ke Halaman Asli

Hara Nirankara

Penulis Buku

Salah Kaprah (Tentang) Feminisme

Diperbarui: 13 Juli 2020   13:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image via Magdalene

Kehidupan ini semakin kompleks, seiring dengan perkembangan jaman serta teknologi yang semakin canggih. Apa-apa yang kita temui (khusunya di media sosial) juga semakin kompleks, bahkan hal yang seharusnya sederhana pun, dibuat rumit oleh sekelompok atau seseorang. Hal yang paling sering menjadi pembicaraan akhir-akhir ini adalah soal feminisme.

Seperti yang kita ketahui, feminisme secara garis besar bertujuan untuk menuntut kesetaraan serta hak sebagai sesama manusia. Tapi yang seringnya terjadi adalah, ketika label feminisme dijadikan tameng untuk ketidakbecusan dalam melakukan sesuatu. Salah satu contohnya adalah dalam hal rumah tangga, yaitu memasak.

Saya ambil contoh dari diri Saya sendiri. Walaupun Saya tahu kewajiban memasak dalam feminisme tidak harus dilakukan oleh perempuan, tetapi salah satu keinginan Saya menikah adalah bisa menikmati masakan sang istri. Sekarang logikanya begini, jika Saya tidak bisa memasak, dan mendapatkan istri yang tidak bisa memasak pula, bagaimana? Apakah kami harus membeli makanan setiap hari? Bukankah itu sebuah pemborosan? 

Lalu bagaimana dengan kondisi psikologis anak kami kelak? Ketika teman sekelasnya dibawakan bekal oleh orangtua, dimasakkan oleh Ibunya, tetapi anak kami tidak pernah mendapatkannya dari orangtuanya sendiri, kira-kira psikologis anak kami akan bagaimana? Merasa kurang beruntung dan harus  menerima kenyataan? Sebenarnya hal itu bisa diatasi, yaitu dengan belajar memasak dan menyiapkan bekal bagi sang buah hati. Bukannya malah bersikap ignorance dengan berbagai macam denial untuk melakukan pembenaran atas hal yang sebenarnya bisa diperbaiki.

Jika kita berbicara masalah "melengkapi" dalam sebuah pernikahan, pastinya "memasak" adalah salah satu diantaranya. Bagaimana kita ingin saling melengkapi jika salah satu tidak ada yang bersedia untuk belajar memasak? Jika istri tetap keras kepala dan menyuruh suaminya untuk belajar memasak. Bukankah itu sama saja sedang mempraktekkan patriarki itu sendiri? Dan yang lebih parahnya hal itu dilakukan oleh seorang wanita yang mengaku sebagai feminis.

Dan pada kenyataannya, banyak wanita saat ini mengaku feminis hanya demi melakukan pembenaran atas ketidakbecusan yang mereka miliki. Hal ini sungguh sangat disayangkan, karena perjuangan mulia dari kelompok feminisme harus ternodai oleh arogansi dari feminis setengah matang.

Sekarang mari kita bandingkan Feminisme Kota dengan Feminisme Desa. Oke feminisme kota mempunyai banyak literasi, tetapi mereka miskin praktek. Sedangkan feminisme desa? Bahkan mereka belum tentu mengenal apa itu feminsme, dan tidak melabeli diri mereka. Walaupun mereka miskin teori, tetapi mereka kaya akan implementasi. 

Coba lihat, banyak wanita desa yang melakukan pekerjaan berat, yang seharusnya dilakukan oleh kaum lelaki. Dari menjadi kuli angkat pasir, bebatuan kecil, hingga mengangkat sebatang kayu berukuran besar hanya bermodalkan selendang. Bahkan mereka bisa memasak, dan seperti yang kita ketahui, masakan orang desa adalah masakan yang mempunyai rasa enak. 

Selain mengenai kelengkapan bumbu, mereka juga mahir dalam hal olah masakan. Sudah bisa melihat seberapa jauh perbedaan antara feminis kota dan feminis desa? Kenapa Saya membandingkan? Karena orang kota terkenal malas, mageran. Itu sebuah fakta, bahkan saya harus menerimanya sebagai orang kota.

Jika ada yang menganggap bahawa gadis desa jaman sekarang sudah berbeda dengan pendahulu, itu memang benar, tapi tidak bisa dipukul rata. Sama halnya dengan feminisme jaman sekarang dan feminisme jaman dulu. Mereka generasi feminis yang berbeda, maka dari itu saya sering berkata kalau, feminisme jaman sekarang adalah feminisme setengah mateng. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya feminis itu, dan malah menjadikan label feminsime untuk melakukan pembenaran atas ketidakbecusan mereka dalam melakukan sesuatu.

Di sini Saya mengajak kalian semua untuk berpikir logis, darimana ceritanya feminsime ingin diterima di Indonesia jika mereka saja selalu keras kepala? Merasa argumennya yang paling benar, merasa mempunyai hak untuk tidak memasak atau mengurus keluarga, merasa mempunyai hak yang sama tetapi berujung pada perilaku patriarki itu sendiri? Bukankah ini sebuah kekeliruan? Dan yang namanya kekeliruan haruslah dikritisi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline