Setiap kali aku mengingatmu, entah kenapa berasa begitu menyakitkan. Senyummu tergambar jelas, sorot matamu terpampang nyata, sedang wangimu begitu berkuasa di memoriku. Aku tersadar ada sesuatu yang tumbuh, mulai mengakar di hatiku.
Tapi aku tak ingin menyebutnya cinta, karena cinta bagiku adalah sesuatu yang tidak nyata. Ada kalanya aku benar-benar merindukanmu, rindu akan nafasmu yang kadang wangi dan kadang tidak. Aku tahu, apa yang aku rasakan tidaklah nyata. Maka dari itu, aku ingin sekali untuk memusnahkannya. Tapi sedetik kemudian aku berpikir, aku akan jadi gila bila tak memikirkanmu, aku akan jadi gila bila tak mengingat semua memori tentang kamu.
Bagaimana bila akhirnya aku terluka? Merasakan kesakitan tanpa bekas luka, oleh sikap egoisku sendiri? Aku tak akan pernah tahu seperti apa dan bagaimana sosokku di matamu, dan aku tidak akan pernah tahu akan sesakit apa aku nantinya jika kamu membenciku.
Benar memang, terkadang aku berhalusinasi sedang menciumimu, mendekapmu sekuat tenaga, dan berharap nada-nada indah kau bisikkan ke telingaku. Entah kenapa aku suka disaat aku berhalusinasi tentang kamu, walau terlihat menyedihkan dan sepenuhnya gila, setidaknya inilah satu-satunya caraku agar bisa memilikimu.
Wangi kayu jati pasca hujan selalu membekas, manisku. Sendiri aku rasakan suatu keajaiban sebuah fantasi, dimana aku selalu merasa beruntung karena bisa memilikimu dalam dimensi halusinasi. Tak pernah terbesit di benakku untuk menduakanmu, bahkan menyakitimu saja aku tak akan pernah mau. Segenap hidup akan aku dedikasikan hanya untukmu sayangku, hingga kelak aku dan kamu sama-sama menua, dan akhirnya musnah setelah tutup usia. Percayalah, akan aku rawat kamu dengan segenap kemampuanku, memanjakanmu adalah hal yang paling menyenangkan bagiku, walau masih dalam batas halusinasi. Dengan sensasi-sensasi yang tercipta berkat kegilaanku, nyatanya hal itu dapat memuaskan batin, walau hanya sesaat.
Sejenak aku berduka, menghadapi rasa ini yang hanya sebatas semu. Sejenak aku marah padamu, hanya karena tak bisa melihat wajahmu secara nyata. Dan sejenak aku bahagia, karena aku kembali berhalusinasi tentang kamu.
Aku cemburu, sumpah demi Dewa yang ada di langit sana, aku cemburu! Beraninya kamu membicarakan orang lain di hadapanku, dengan matamu yang berbunga aku lihat kau sedang jatuh cinta tanpa seizinku. Tega! Kenapa kau tega hancurkan gunungan rasa ini disaat kau dan aku sedang berdua? Disaat aku sedang klimaks-klimaksnya menikmati setiap inchi tubuhmu? Tapi aku bisa apa? Aku pemilikmu di fantasiku, tapi di dunia nyata? Aku hanya seekor makhluk biasa bagimu. Sedih memang, kenapa aku harus terluka begitu cepat, dan kembali bahagia hanya dengan ucapan "hai" darimu. Sesekali aku menghitung hari, menunggu saatnya aku dan kamu bersatu untuk selamanya. Tapi tiap kali aku menghitung maju, bayangmu selalu memudar, dan terus memudar bersamaan dengan dekup jantungku yang semakin kencang.
Tuhan, kenapakah harus Kau ciptakan rasa yang seperti ini? Bila boleh aku murka, aku ingin sekali murka kepadaMu, yang selalu saja membiarkanku merindu sendirian, sedang tiap kali aku ingin sadar, Kau kembali nina-bobokan aku dengan memori tentang dia. Jadikanlah aku seperti angin, Tuhan, yang dengan bebas ingin pergi ke mana, dan selalu dibutuhkan oleh semua umat manusia. Setidaknya gunaku nyata untuk dia, bukan hanya sekedar ilusi di dalam semua kegilaan ini. Senada jiwa, hati, dan logikaku yang ingin memberontak, ingin terlepas namun tak bisa. Senyata-nyatanya orang jatuh cinta, lebih nyata kegilaan ini yang tiap detik makin menggila. Terkadang aku melamun hanya karena mengingat, terkadang air mata ini hampir terjatuh hanya karena merindu. Dan kepada siapakah aku mengadu selain kepadaMu, Tuhanku sayang? Tak akan ada yang peduli dengan kesialan ini, bahkan aku sangat yakin, Kau tak akan pernah sudi untuk mewaraskan aku kembali.
Sesekali aku garuk kepalaku, bersender pada tembok kamarku, dan aku hisap tembakau kesukaanku serta aku teguk habis vodka Tacik tanpa nama. Aku meratapi gila yang tak kunjung berakhir, kegilaan yang semakin membuatku gila melebih orang gila yang asli. Aku putar lagu-lagu yang paling sedih dan menyakitkan, berharap air mataku lekas terjatuh hingga derita ini benar-benar hilang untuk sesaat. Tapi tetap tidak bisa, Tuhan. Ide-ide di kepalaku sudah habis, atau mungkin ide itu sengaja tak sudi nampak karena senang melihatku gila dan menderita. Entah, kehidupan macam apa ini, tak aku sangka aku akan mengalami hal yang hanya terjadi dalam telenovela.
Disaat aku sedang sendiri oleh sebab gila yang selalu betah ini, hanya nyamuk yang setia ngang-nging-ngang-nging memutari telingaku. Sesekali angin malam bersiul seolah mengejekku, hingga rasanya aku ingin sekali memukuli benda yang tak berwujud itu. Gila, kan? Memang, gila memang aku ini. Gilanya melebihi gilanya orang gila asli, tapi aku tak bisa melakukan apapun. Maka dari itu, andaikan Engkau menampak di depan mataku, aku ingin sekali memukuliMu, Tuhan.
Sudah, aku tak ingin banyak berbicara. Untuk apa terus bergumam pada sesuatu yang tidak pernah menyata sepertiMu? Lelaplah dalam tidurMu, lelaplah hingga drama ini berkahir. Aku tak ingin membangunkanMu hanya karena aku sedang gila.