Lihat ke Halaman Asli

Hara Nirankara

Penulis Buku

Jurnalistik Ala Kadarnya

Diperbarui: 1 November 2019   08:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image via Koran Metro

Latah, latah memang masyarakat Indonesia. Apa-apa yang dilontarkan oleh elit politik maupun pendukungnya bisa dengan gampang viral serta mendapatkan banyak reaksi dari masyarakat, terutama mereka yang awam perihal politik. Sebenarnya saya sudah teramat malam membahas masalah politik ataupun orang-orang yang ada di dalamnya, tapi mau gimana lagi? Mungkin sudah menjadi kewajiban saya sebagai penulis untuk memberikan pengertian serta wawasan kepada netizen.

Salah satu contoh kasusnya adalah tentang cuitan mantan jubir Prabowo, Danhil Anzar, yang mecuit tentang Prabowo yang disebut tidak akan mengambil gajinya selama menjadi Menteri Pertahanan. Sontak saja orang-orang yang awam terhadap politik, yang pro maupun kontra, 'melatah' dengan memberikan pembelaan ataupun kritikan kepada Prabowo. Tidak lama setelah cuitan itu viral, Prabowo bereaksi dengan memberikan bantahan terhadap cuitan Danhil. Prabowo berkata bahwa ia akan tetap mengambil gajinya sebagai Menteri Pertahanan. Dengan begitu, mereka yang tadinya menyanjung Prabowo, membanggakan Prabowo, dipaksa untuk menjilat ludah mereka sendiri. Fenomena latah inilah yang sudah sejak lama terjadi, terutama semenjak kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok hingga sekarang.

Terlepas dari Prabowo mengambil atau tidak gajinya selama menjabat sebagai Menteri Pertahanan, saya ingin memberitahukan satu hal yang dulu sempat saya terima ketika sedang mengambil mata kuliah perpajakan. Gaji, tunjangan, komisi, honor, hadiah, itu semua tidaklah sama. Jika berbicara mengenai gaji, maka yang dihitung hanya gaji pokok. Sedangkan jika gaji ditambah tunjangan, dll, itu bukan gaji namanya, tetapi total pendapatan. Saya sendiri hampir menyerah selama mengikuti mata kuliah perpajakan walau hanya satu semester, karena apa? Masalah itung-itungan pajak seperti Pph dan Ppn sangatlah rumit, apalagi harus menghafal pasal-pasal yang tiap pasalnya mempunyai rumus yang berbeda. Inilah alasan utama saya memaksakan diri untuk membahas masalah politik, karena saya ingin mengedukasi mereka yang salah persepsi dengan sedikit ilmu yang saya miliki.

Masalah "latah" ini tentunya tidak lepas dari disinformasi yang diterima oleh masyarakat, atau mungkin juga sengaja disebarkan oleh mereka yang mempunyai kepentingan. Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang suka mengkonsumsi politik beberapa tahun terakhir, membuat berita seputar politik menghiasi time line beberap media sosial yang saya miliki. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada kenyataannya sebagian masyarakat Indonesia lebih gemar membaca dan bereaksi terhadap berita yang mempunyai nilai lebih dalam hal "baku hantam", sedang berita-berita seputar sains dan teknologi, pendidikan, bahkan prestasi anak bangsa, selalu lepas dari sorotan publik. Saya sendiri sering membuat artikel yang membahas masalah pendidikan, konflik agraria, hingga kebakaran hutan serta isu ekonomi, tapi tulisan saya itu selalu sepi. Tapi ketika saya membahas masalah agma, ormas keagamaan, hingga politik, entah kenapa feed yang masuk banyak, kolom komentar dihiasi oleh perdebatan hingga caci maki serta sumpah serapah.

Kesalahan tidak seluruhnya saya tunjukan kepada pembaca, tapi juga media. Demi menaikkan rating, feed, share, hingga viewer, banyak media rela membuat judul artikel yang kontroversial, memuat cover yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan isi artikel. Bahkan yang lebih parah, seringkali judul bersifat tendensius, menjatuhkan salah satu pihak, yang akhrinya memicu perdebatan karena disinformasi.

Saya pikir, cukup acara televisi saja yang yang mengalami down-grade, media massa berupa berita? Jangan. Tapi pada kenyataanya seperti inilah kondisi di Indonesia, jurnalistiknya sudah melenceng dari esensi jurnalisme itu sendiri yang seharusnya objektif. Saya sendiri pernah mengirimkan satu naskah esai yang menjadi salah satu esai terpilih dalam acara kompetisi menulis dengan tema Peran Jurnalis Dalam Industri 4.0, yang di dalam naskah itu sudah saya jelaskan bagaimana seharusnya jurnalistik bekerja yang seharusnya netral, objektif, dan mencerahkan. Jika keadaan seperti ini terus berlanjut, bagaimana bisa kualitas sumber daya manusia negara ini akan berkembang ke arah yang lebih baik? Belum lagi konten nir faedah sekarang banyak berseliweran di youtube oleh karena menjamurnya youtuber yang membuat konten prank hingga makan sabun.

Saya sendiri ketika membuka youtube, pasti yang saya tonton adalah Doraemon, Spongebob, Oggy, hingga Larva. Sesekali saya membuka fitur tranding, tapi beberapa bulan terakhir yang muncul malah acara-acara gosip yang serat akan drama dan kontroversi. Mau sampai kapan? Apakah masyarakat di era Revolusi Industri 4.0 akan terus menerus dibodohi oleh acara nir faedah? Dipermainkan oleh jurnalistik ala kadarnya? Media informasi semakin menyesatkan dengan munculnya banyak website abal-abal yang memuat konten hoax, dan ditambah kondisi masyarakat Indonesia yang "latah" dengan menyebarkan konten yang mereka terima tanpa check and balance.

Dan di akhir tulisan, saya hanya bisa mengawang-awang, suatu saat Indonesia akan menjadi negara yang kuat, maju di segala bidang, sesuai dengan harapan para founding fathers.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline