Lihat ke Halaman Asli

Hara Nirankara

Penulis Buku

Euforia Sesaat Hari Sumpah Pemuda

Diperbarui: 4 November 2019   09:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada beberapa pesan yang saya terima di instagram dari beberapa followers saya, mereka bertanya kepada saya kenapa saya tidak memposting dan mengucapkan selamat hari sumpah pemuda? Memang, setahun terakhir ini saya sudah jarang mengucapkan "Selamat" entah itu peringatan sejarah ataupun tentang keagamaan. 

Apa sih alasan saya kenapa tidak ikut serta dalam "euforia" itu? Teruntuk sebagian di antara kalian yang bertanya "kenapa Hara tidak mengucapkan selamat Hari Sumpah Pemuda???". Jawabannya sederhana, untuk apa mengucapkan sumpah yang sakral hanya sebatas ucapan "Selamat Hari Sumpah Pemuda"??? Formalitas? 

Demi terlihat seperti generasi bangsa yang peduli? Menghargai? Menghargai yang seperti apa? Menghargai dengan disertai implementasi riil atau hanya sekedar menghargai saja? Mengenang? Mengenang apanya? Bahkan saya yakin sekali, banyak generasi milenial yang tidak paham dengan yang dinamakan Sumpah Pemuda.

Jika kalian masih ingat dengan esai serta thread saya tentang "Nasionalis Musiman", esensi dari tulisan ini sama persis dengan esai dan thread saya tentang Nasionalis Musiman.

Saya berpikir, keadaan bangsa ini tidak akan pernah berubah jika tidak ada kesadaran kita semua dalam memaknai sesuatu seperti Sumpah Pemuda. Bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu, menjunjung tinggi bahasa yang satu. Apakah 3 poin itu masih tetap dipegang teguh oleh penerus bangsa? Pada kenyataannya, TIDAK.

Saya sendiri sering sekali menggunakan bahasa yang tidak mencerminkan bahasa Indonesia yang baik dan benar ketika sedang dalam konteks non formal. Apakah dengan bahasa yang terus terdegradasi, menunjukan kalau kita semua layak menyandang gelar pemuda yang bersumpah? BIG NO.

Pada faktanya, Bahasa Indonesia terus mengalami degradasi dari masa ke masa. Kita sudah sering lihat banyak sekali orang menggunakan bahasa hasil modernisasi atau bahasa yang tidak baku, bahkan bahasa yang di-mix dengan bahasa asing. 

Memang terlihat sederhana bahkan sangat lumrah jika dikontekskan ke dalam guyon, joke, sehingga mereka yang terbiasa mendegradasi Bahasa Indonesia akan menganggap bahwa kita adalah orang kolot, selera humornya rendah, terlalu serius, bla bla bla dan bla bla bla. Apakah dengan begitu kita layak ikut serta dalam barisan pemuda yang diinginkan oleh para pendiri bangsa? Tidak. Kita sedang berbicara masalah "Sumpah Pemuda", dan kata "Sumpah" adalah kata yang teramat sakral dan tidak boleh untuk candaan.

Mengucapkan "Selamat Hari Sumpah Pemuda" tidak lantas membuat kita semua menjadi pemuda yang diinginkan. Menyanyikan lagu kebangsaan bukan berarti kita pantas menyandang gelar nasionalis. Begitu pun sebaliknya, tidak mengucapkan "Selamat Hari Sumpah Pemuda" bukan berarti kita generasi penerus bangsa yang tidak tahu diri. Tidak mengucapkan "Selamat HUT RI" bukan berarti kita tidak nasionalis.

Dan coba lihat, euforia Sumpah Pemuda hanya berlangsung satu hari, bahkan bisa kurang. Selebihnya? Ya kita kembali lagi menjadi pemuda yang 'tidak diinginkan'. Fakta. Apa yang saya katakan di atas adalah fakta. Euforia kebanggaan, kebangsaan, pokoknya yang berkaitan dengan identitas bangsa bahkan agama, hanya berlangsung dalam kurun waktu 1x24 jam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline