Lihat ke Halaman Asli

Hara Nirankara

Penulis Buku

Menembus Batas Spiritualitas

Diperbarui: 29 Juli 2019   03:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image by Hara Nirankara

Mungkin kalian akan merasa ada hal yang berbeda dengan diri saya. Hara yang dulu dengan Hara yang sekarang tidak lagi sama. Saya yakin beberapa di antara kalian ada yang berpikir bahwa "Hara sudah tidak 'seasik' dulu." Kalian tidak perlu bertanya atau mengingatkan, karena saya sendiri sudah sadar atas perubahan yang saya alami. Pasti kalian yang tahu sepak terjang saya seperti apa, akan ingat betul bahwa dulunya saya sering baget "ngegas" ketika sedang adu argumen.

Berbagai kalimat yang menyakitkan sering keluar dari mulut saya untuk lawan bicara saya ketika sedang berdebat. Dan saya yakin pasti ada beberapa di antara kalian yang kengen dengan postingan serta caption saya yang "ngegas". Itu dulu. Sekarang saya sudah terlihat agak kalem dalam berargumen. Dan saya juga yakin ada beberapa di antara kalian yang menganggap "ah konten Hara sudah tidak asyik lagi."

Saya memang sengaja membuat konten yang berbeda dari sebelumnya. Saya sudah mempunyai konsep sendiri untuk menyalurkan apa yang ada di pikiran saya. Jika ada yang bilang "Hara cari aman". Salah. Saya sama sekali tidak mencari aman. Dan saya masih tetap dengan identitas saya sebagai Radical Writer.

Apa sih yang membuat saya menjadi berbeda? Itu karena saya merasa "apa sih untungnya 'ngegas'? apa sih yang saya dapatkan dari melontarkan kata-kata kasar?". Semakin berkembangnya nalar dan semakin saya membenahi pola pikir saya. Saya mencoba untuk membalikkan keadaan. Saya pasti akan tersinggung jika ada orang lain yang mendiskreditkan saya, menghina saya.

Akhir-akhir ini saya sering bercermin. Ketika saya melihat banyak orang yang sedang adu argumen, saya merasa dunia ini begitu sempit. Dunia ini dibuat seolah-olah hanya untuk pertengkaran. Padahal masih banyak hal yang dapat kita lakukan selain bertengkar satu sama lain. Banyak orang yang terlalu fokus pada satu pembahasan sehingga mengabaikan hal yang lain.

Dengan banyaknya orang beradu argumen, saling mencerca, saling merendahkan. Dalam benak saya berpikir "inikah yang disebut dengan manusia?". Saya sendiri, selain sering mencerca orang lain, saya juga sering dicerca. Awalnya, saya merasa kesal dan mencerca balik. Tapi lambat laun saya berpikir "jika batu dibalas dengan batu, maka akan menimbulkan percikan api." Coba lihat diri Hara yang sekarang.

Di saat banyak orang yang tidak setuju dengan pemikiran Hara, mereka mencaci. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang menyeret kedua orang tua saya. Mereka tidak mampu untuk membantah apa yang saya paparkan, sehingga mereka meluapkannya dengan mencaci. Kalau dulu saya langsung emosi. Tapi tidak dengan sekarang. Saat ini saya lebih suka mendiamkan, tidak menanggapi. Karena apa? Jika saya menanggapi, maka tidak akan ada habisnya.

Lalu, bagaimana caranya saya bisa sampai tahap ini? Saya lebih banyak merenung. Saya tidak merenungi kenapa mereka mencaci saya. Saya lebih merenungi kehidupan. Ketika saya jenuh dengan segala kegaduhan dan hinaan yang ditujukan kepada saya. Saya memilih untuk berdamai dengan kenyataan. Saya mencoba mencari sesuatu yang benar-benar bisa melenyapkan segala emosi yang saya miliki. Saya sering pergi ke pedesaan, ngopi.

Sepanjang perjalanan saya bisa merasakan "bahwa inilah dunia". Saya hanya sebutir debu di luasnya bumi ini. Suasana yang tenang dan nyaman membuat otak saya kembali jernih. Melupakan orang-orang yang setiap harinya ingin memaki saya. Kemudian, saya lebih sering bertanya kepada diri sendiri. Saya itu sebenarnya siapa? Sudah sepintar apakah saya sehingga saya dengan mudah mengatakan bahwa orang lain itu bodoh?

Saya itu hanyalah makhluk kecil, fana, yang ketika mati sudah tidak mempunyai nilai lagi. Siapakah aku? Apakah aku lebih suci dari kamu? Apakah aku lebih hebat dari kamu? Apakah aku lebih, lebih, lebih, dan lebih dari kamu? Tidak. Aku hanyalah seorang manusia yang masih butuh banyak tamparan.

Siapakah yang membuat aku seperti ini? Semua ini berawal dari seseorang yang aku anggap sebagai guru. Beliau membuka pikiran tentang siapa aku yang sebenarnya. Berangkat dari koneksi spiritual itulah yang akhirnya membuat aku sering bertanya tentang segalanya. Termasuk mempertanyakan tentang Tuhan. Mungkin kalian masih ingat betul tentang banyaknya pertanyaanku mengenai Tuhan, yang akhirnya membuat orang mencaci diriku. Itu sebuah proses. Sebuah proses yang aku anggap sebagai upaya untuk menyatu dengan Tuhan. Yaitu diriku sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline