Hidup tentu ada bahagia dan ada derita. Beberapa diantaranya ada yang sangat menderita, kehilangan orang yang dicintai, orangtua yang bercerai, kecelakaan sehingga harus kehilangan salah satu anggota tubuh, bangkrut, dan lain sebagainya.
Ketika kita mengalami penderitaan yang amat sangat, tentu kita merasa sangat tertekan, jatuh terpuruk, tak berdaya. Tapi, berapa lama kita akan berada dalam keadaan terpuruk? Apakah kita akan terus terpuruk? Ada kalanya dalam hidup manusia mengalami penderitaan yang amat sangat. Namun ternyata, ada orang-orang tertentu yang mampu bertahan, atau bahkan mampu kembali ke keadaan semula. Lebih hebatnya lagi, ada jenis orang-orang tertentu yang mampu menjadikan penderitaan itu sebagai titik balik keadaan, menjadikan dia jauh lebih baik dari sebelumnya.
Pada tahun 55-an, Emmy Worner yang tinggal bersama suku Kawai menemukan fenomena unik. Para orangtua pada suku ini memiliki perilaku dan kondisi psikis yang sangat tidak sehat. Banyak mabuk, judi, selingkuh, kawin cerai, tawuran, dll. Tentu saja ini sangat berpengaruh pada generasi muda. Mereka kemungkinan besar akan mengikuti pola hidup para orangtuanya. Namun ternyata ada 1/3 anak yang memiliki perilaku dan kondisi psikis yang sehat. Ini membuat Emmy Worner bertanya-tanya, ada apa dengan 1/3 anak ini? Ada mekanisme apa pada 1/3 anak ini? Penelitian terus berlanjut, dan muncullah konsep resiliensi.
Resiliensi adalah daya lentur. Ketika mengalami penderitaan, seseorang akan mengalami stress namun tidak berkepanjangan, lalu mampu bangkit lagi ke keadaan semula. Kita bisa mengatakan itu adalah resiliensi jika penderitaan itu sangatlah berat atau signifikan, seperti orangtua bercerai, salah satu anggota tubuh diamputasi, kematian seseorang yang sangat berarti, dan lain sebagainya. Selain itu juga harus ada perilaku yang positif, sehingga ia mampu bangkit kembali.
Sebelumnya, mungkin kita sering mendengar kata survive. Nah, resiliensi ini lebih dari sekedar survive. Mc Cubing & Mc Cubing menjelaskan, ada empat macam yang dilakukan manusia ketika mengalami penderitaan, yaitu:
1.Succumbing, yaitu ketika individu jatuh tidak bangun-bangun lagi, terus terpuruk dengan keadaannya (tidak harus diakhiri dengan bunuh diri).
2.Survive, yaitu ketika individu jatuh kemudian bertahan pada titik tertentu agar tidak jatuh lebih dalam lagi.
3.Resiliensi, yaitu ketika individu jatuh, ia stress dan jatuh begitu dalam, lalu kemudian melenting dan dapat kembali ke keadaan semula.
4.Thriving, yaitu ketika individu jatuh, dan kejatuhan itu menjadi titik balik untuk akhirnya berhasil lebih tinggi (resiliensi dengan kapasitas tinggi) tidak hanya sekedar kembali ke keadaan semula, namun lebih baik dari itu.
Lebih jelasnya lihat tabel berikut ini:
[caption id="attachment_175704" align="alignnone" width="489" caption="sumber: Mc Cubing & Mc Cubing"][/caption]
Namun, ada tiga hal yang perlu diingat mengenai resiliensi, yaitu:
1. Seseorang bisa saja resilien terhadap satu hal, namun tidak pada hal lain. Apa lagi jika sudah menyangkut prinsip. Contoh, bisa saja seseorang bertahan meski kekurangan makan dan berada pada keadaan ekonomi yang rendah. Tapi, begitu tahu suaminya selingkuh, ia langsung ambruk, jatuh berkeping-keping.
2. Pada penderitaan yang sama, bisa saja ada waktu atau masa tertentu seseorang tidak resilien.
3. Seseorang bisa belajar dari kemampuan resiliensinya terhadap sesuatu untuk menghadapi hal yang lain.
Resiliensi dipengaruhi oleh faktor resiko dan faktor protektif. Stressor yang datang akan menimbulkan stress, lalu individu akan memberikan respon, bentuk respon individu ini dipengaruhi oleh faktor resiko dan faktor protektif. Jika individu mampu memberikan respon yang positif maka akan muncullah perilaku yang positif untuk mengatasi persoalan yang dialami.
[caption id="attachment_175707" align="alignnone" width="481" caption="faktor resiko & protektif"] [/caption]
Faktor resiko adalah, faktor-faktor yang memperburuk keadaan.
Faktor resiko ada tiga, yaitu:
1. Resiko individual, yaitu faktor-faktor individu yang memperburuk keadaan, contohnya kepribadian, individu yang mudah panik akan membuat keadaan semakin buruk. Atau bisa juga kondisi fisik individu yang mudah sakit, begitu tertimpa masalah kemungkinan besar ia akan lebih mudah sakit lagi.
2. Resiko Keluarga, yaitu faktor-faktor keluarga yang memperburuk keadaan. Misalnya, keluarga yang kurang komunikatif.
3. Resiko Sosial, yaitu faktor-faktor lain yang lebih luas lagi dan lebih kompleks yang dapat memperburuk keadaan. Misalnya, gosip-gosip tetangga yang memperkeruh masalah.
Faktor protektif adalah, faktor-faktor yang berefek positif bagi individu.
Faktor protektif ada tiga, yaitu:
1. Protektif individual, yaitu faktor-faktor individu yang berefek positif bagi individu. Bisa berupa aspek kepribadian atau fisik individu.
2. Protektif Keluarga, yaitu faktor-faktor keluarga yang berdampak positif bagi individu. Misalnya, keluarga yang komunikatif.
4. Protektif Sosial, yaitu faktor-faktor lain yang lebih luas lagi dan lebih kompleks yang dapat memberi dampak positif bagi individu.
Masalahnya adalah, sering kali seseorang lebih memperhatikan faktor resiko dan tidak menyadari adanya faktor protektif. Padahal banyak hal yang lebih patut disyukuri yang tidak dimiliki oleh orang lain. Terkadang juga kondisi individu, keluarga, dan sosial bisa berbolak-balik menjadi faktor resiko dan faktor protektif. Semakin baik faktor protektif, maka semakin besar kemungkinan resiliensinya.
Referensi:
Muryantinah dkk. 2008. Psikologi Keluarga. UP3 Universitas Airlangga: Surabaya.
Bahan ajar Psikologi Keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H