Sebelum memulai tulisan ini, saya ingin menegaskan terlebih dahulu bahwa saya bukanlah tim sukses WIN-HT, anggota Partai Hanura, simpatisan Wiranto, atau bahkan anak Hary Tanoesoedibyo. Sebaliknya, saya juga bukan pembenci mereka atau anti mereka. Saya hanyalah seorang pekerja media lifestyle yang telah bergumul dengan dunia ini selama sekitar delapan tahun. Saya juga bukan pengamat politik ataupun ahli periklanan. Namun, ribut-ribut soal Kuis Kebangsaan yang ternyata terbukti settingan sehingga jadi ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu menggelitik saya untuk sedikit menuangkan pendapat lewat tulisan ini. Saya tak bermaksud menyalahkan atau membela pihak-pihak tertentu karena saya sendiri termasuk anti terhadap soal politik. Yang menarik perhatian saya justru apakah bentuk-bentuk rekayasa dalam strategi promosi jadi cara yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu atau malah jadi bumerang bagi si pengkampanye. Untuk itu, baiknya kita mulai tulisan ini.
Ririn Dumin dan Sarah Aprilia
Sekitar tiga tahun lalu, muncul sosok Ririn Dumin yang sangat menarik perhatian masyarakat Indonesia. Namanya kerap jadi bahan perbincangan di ranah sosial media dan media digital lainnya. Informasi tentang Rindu (Ririn Dumin) pun saya dapatkan setelah seorang teman dekat mengirimkan link blog pribadi Rindu yang—menurut sang kawan—cantik dan masuk kriteria pendamping hidupnya. Maklum, saat itu dia sedang dikejar deadline menikah oleh orangtuanya. Sebagai teman yang peduli, saya pun langsung mengecek link tersebut. Berikut linknya www.rindumenujubintang.blogspot.com/2010/01/aku-ririn-dumin-salam-kenal-duniaaaa.html
Sekilas dari foto profil yang terpampang, Rindu tampak naif dan jujur. Pantas saja teman saya kesengsem. Apalagi setelah saya baca beberapa tulisannya, nilai lebih Rindu langsung naik berkali lipat. Lewat tulisan-tulisan dan beberapa video di blog-nya itu saya bisa membaca bahwa Rindu adalah orang yang punya mimpi besar dan sangat ingin mewujudkan mimpinya tersebut. Singkat kata, saya setuju jika teman saya ingin mendekati Rindu.
Sang teman mulai bergerilya mendekati Rindu lewat berbagai cara. Dia mengaku sudah mengirim email, menulis komentar di blog Rindu, hingga menelepon Rindu di nomor yang yang memang tersebar dan terpajang di blognya. Terkait telepon ini, sang teman yang selalu memberi update progres kepada saya bilang, “Voice note mulu, bro. Katanya lagi sibuk casting.”
Waktu berlalu. Nama Rindu sudah terkubur oleh kesibukan saya di sebuah perusahaan media. Hingga akhirnya sekitar enam bulan berikutnya, di tengah deadline, sang kawan kembali mengirimkan link kepada saya terkait Ririn Dumin. Namun, kali itu dia tidak sesemangat waktu pertama kalinya memberikan link Rindu kepada saya.
“Brengsek, gua kecele,” kata sang kawan ngedumel.
Saya penasaran seraya menuju link yang dimaksud. Dan, hasilnya memang bikin geram. Ririn Dumin adalah tokoh rekaan sebuah produk kesehatan. Adalah biro iklan Publicis Indonesia yang membuat karakter Ririn untuk obat sakit kepala merek Dumin yang diproduksi oleh PT Actavis. Berikut linknya www.rindumenujubintang.blogspot.com
Damn! Saya bisa merasakan kekecewaan yang dialami kawan yang sedang ngebet merit. Tapi syukurnya dia sekarang sudah berkeluarga dan punya satu anak laki yang sehat dan lucu serta pendamping hidup yang.... NYATA!
Di waktu yang berbeda, muncul pula tokoh rekaan bernama Sarah Aprilia. Berbeda dari Rindu yang naif, tokoh Sarah ditampilkan dalam bungkus yang cantik dan lebih seksi. Dalam skenario itu, Sarah Aprilia seolah menawarkan jasa les privat bahasa Inggris untuk kalangan pelajar di sekolah-sekolah. Hmm.. saya jadi ingat sebuah situs dewasa di Amerika Serikat yang skenarionya selalu menampilkan guru-guru cantik dan seksi. Hehehe.
Oke, balik ke topik. Ribuan pamflet disebar berikut foto dan nomor telepon Sarah. Bisa ditebak, ratusan penelepon pun berebut untuk menjadi murid guru seksi itu. Terutama pelajar pria. Seiring dengan itu, muncul juga video-video aktivitas Sarah sang guru privat seksi, termasuk saat dia sedang memberikan les privat kepada salah satu muridnya. Salah satu video itu diunggah oleh akun gorboman dalam bentuk dan kualitas yang ‘amatir’ sehingga memberikan kesan nyata pada tayangan tersebut.
Usut punya usut, tokoh Sarah Aprilia akhirnya terbongkar. Guru privat cantik dan seksi itu ternyata tokoh rekaan untuk kepentingan kampanye sebuah produk dari Mustika Ratu. Sementara, Sarah Aprilia sang guru seksi itu diperankan oleh Raline Syah, Putri Indonesia Favorit 2008.
Setting-an
Apa yang telah dilakukan dua brand besar di atas telah menuai banyak sikap pro dan kontra dalam masyarakat, terutama pemerhati periklanan dan organisasi peduli konsumen. Banyak yang bilang tindakan kampanye yang mereka lakukan tersebut merupakan salah satu bentuk pembohongan publik dan bisa dibawa ke ranah hukum. Namun tak sedikit pula yang justru mengapresiasi bangunan skenario kampanye dua brand itu, yang nyatanya berhasil meraih perhatian publik yang sangat masif.
Sebuah brand, dalam perjalanannya, membutuhkan promosi. Ribuan buku dan seminar telah digelar seraya membahas dan menjabarkan strategi-strategi bentuk promosi tersebut. Ada promosi yang berwarna ‘hitam’ (biasa disebut black campaign), biru, putih, dan warna lainnya. Semuanya memiliki satu tujuan: untuk DIKENAL—bahkan syukur-syukur mendapat perhatian masyarakat atau calon konsumennya.
Untuk sebuah brand baru, mendapat perhatian dari masyarakat adalah suatu kemewahan. Jangankan diperhatikan, dikenal saja mereka sudah sangat bersyukur. Untuk itu, segala upaya dan cara akan dikerahkan tim promosi brand yang bersangkutan untuk sekadar membuat nama brand tersebut agar bisa terlihat, terdengar, dan terasa di tengah perang promosi ribuan brand.
Di media tempat saya bekerja, praktik setting-an telah berlangsung sejak awal. Maklum, delapan tahun yang lalu, media kami adalah anak baru; anak bawang di antara media-media besar yang sudah mapan. Soal artikel dan lainnya kami anggap relatif mudah untuk memproduksinya. Namun, pada dasarnya bisnis media adalah bisnis content. Bagaimana content media tersebut terlihat menarik dan diterima pembaca. Dan, salah satu content media adalah kolom surat pembaca.
Keberlangsungan hidup media bergantung pada halaman iklannya. Dan, salah satu tolok ukur pemasang iklan untuk mau memasang iklannya di media cetak adalah ‘readership’. Di antara rubrikasi media cetak, kolom surat pembaca jadi salah satu ukuran apakah media tersebut memiliki readership yang baik. Oleh karena itu, majalah kami sering merekayasa kolom surat pembaca dengan menampilkan surat-surat fiktif kiriman pembaca fiktif seolah-olah majalah kami memang dibaca dan diperhatikan masyarakat, bahkan dianggap berdampak karena masyarakat bela-belain mengirimkan opini mereka. Dan, itu adalah salah satu strategi agar media kami dikenal!
Seorang teman yang bekerja di rumah produksi tayangan reality show juga mengakui hal serupa. Tayangan hipnosis yang menampilkan beberapa ‘volunteer’ untuk kemudian dihipnosis dan diwawancara seolah-olah sang volunteer benar-benar ada dalam kondisi terhipnosis, diakui sang teman sebagai bentuk rekayasa. Sebelumnya, sang volunteer telah diberikan brief terlebih dahulu meskipun tayangan tersebut mungkin akan dilakukan dengan cara live.
Ada pula teman yang pernah mengajak saya ikut kuis di Twitter terkait promosi produk mereka. Saat itu, majalahnya sedang membagi-bagikan tiket nonton konser sebuah band dari luar negeri. Saya sudah diberi tahu 10 menit sebelum kuis dimulai. Saat kuis dimulai, saya telah jadi juaranya. Iseng-iseng, saya tanya alasan sang teman. Menurutnya, hal itu dilakukan agar program mereka (kuis) bisa ramai dan mendapat perhatian dari massa di Twitter.
Cara-cara itu tentu tak beda dari tayangan sulap dan reality show lainnya yang silih berganti mengisi ruang-ruang televisi kita. Tapi apakah itu salah? Saya tak bisa menilainya. Namun yang saya fokuskan adalah, bentuk-bentuk itu merupakan strategi pintar dalam menjaring perhatian masyarakat dan calon konsumen dalam waktu sesingkat-singkatnya. Bukan kah itu tujuan semua departemen promosi kantor-kantor kita?
Nah, terkait Kuis Kebangsaan yang beberapa waktu lalu sempat heboh karena terbukti setting-an, saya berpendapat sama: bahwa kuis itu merupakan strategi pintar dalam menjaring perhatian masyarakat dan calon konsumen dalam waktu sesingkat-singkatnya. Pasalnya, saya lihat brand WIN-HT adalah brand baru yang butuh exposure tinggi dan strategi promosi kreatif untuk sekadar dikenal masyarakat.
Tapi, sayangnya strategi setting-an yang digunakan tim Kuis Kebangsaan masih kalah ‘canggih’ dan kalah ‘kreatif’ dari dua strategi setting yang sudah saya jabarkan di atas. Tokoh Sarah di-setting memasarkan dirinya sebagai guru les private ke kalangan pelajar di sekolah-sekolah; tokoh Ririn di-setting mempromosikan dirinya sebagai calon bintang masa depan; sementara Kuis Kebangsaan hanya di-setting layaknya kuis biasa.
Tapi tunggu dulu. Berbicara soal strategi promosi, kok saya jadi berpikir lagi ya. Masak sih tim Kuis Kebangsaan bisa sesembrono itu dan membocorkan strategi kuis setting-annya. Jangan-jangan pembocoran atau ‘kecelakaan’ ini justru disengaja oleh tim Kuis Kebangsaan dan tentunya termasuk setting-an, untuk mendapatkan perhatian masyarakat netizen yang lebih banyak lagi. Hanya Tuhan yang tahu.
Namun terlepas dari semua itu, Kuis Kebangsaan dan tokoh-tokoh rekaan tersebut terhitung sukses dalam konteks viral marketing. Ketiganya mampu menarik simpati dan memikat perhatian para pengguna internet dan menjadi perbincangan hangat di blog, forum, YouTube, Facebook dan Twitter.
Soal apakah itu pembohongan publik, saya tidak peduli. Kegiatan promosi yang dilakukan mereka mampu menghasilkan sebuah viral di kalangan bloger dan nettizen sehingga menjadi buah bibir yang terus diperbincangkan hingga saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H