Indonesia terkenal sebagai negara agraris yang dimana salah satu sektor penyumbang perekonomian Indonesia adalah dari pertanian dan juga perkebunan. Perkebunan memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap pembangunan perekonomian indonesia terutama dalam perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit merupakan komoditi terbaik dalam meningkatkan devisa Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh pada Direktorat Jenderal Perkebunan, dari tujuh komoditi yang dijadikan sebagai ekspor unggulan, kelapa sawit mendapatkan nilai ekspor yang mencapai angka 17,60 miliar Dolar AS. Ekspor minyak sawit tertinggi yang diperoleh oleh Indonesia adalah pada tahun 2012 dimana pada tahun itu merupakan nilai tertinggi yang pernah didapat oleh Indonesia di sektor perkebunan minyak sawit. Pada tahun sebelumnya juga Indonesia menduduki nomor urut pertama dalam ekspor minyak sawit dengan nilai 17,23 miliar dolar AS.
Kelapa sawit yang dapat menghasilkan minyak sawit mentah menjadi favorit untuk komoditi ekspor Indonesia. Oleh karena itu, perkebunan minyak sawit memiliki peran yang cukup penting. Subjek utama dari perkebunan kelapa sawit adalah minyak sawit sehingga pasokan yang terus berlanjut ikut dalam menjaga kestabilan harga. Minyak sawit sebagai bahan pokok kebutuhan dimana minyak goreng merupakan salah satu komoditas dalam sembilan bahan pokok (sembako). Minyak sawit banyak digunakan oleh masyarakat. Oleh sebab itu. harga dari minyak sawit tersebut harus terjangkau oleh masyarakat.
Di Indonesia kini terjadi kenaikan harga minyak sawit yang terus melonjak tinggi. Belakangan ini, harga minyak sawit di Indonesia mengalami kenaikan dari harga per satu liter Rp.14.000,00 harga tahun ini menjadi sebesar Rp.25.000,00. Kenaikan harga minyak sawit mengakibatkan rumah tangga di Indonesia terkena dampaknya bahkan sudah kewalahan dengan sulitnya mendapatkan minyak sawit untuk memasak. Hal tersebut dikarenakan minyak sawit sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat sejak dahulu kala. Maka dari itu, ketika harga minyak sawit mengalami kenaikan, seluruh masyarakat kaget akan kenaikan harga minyak sawit. Konsekuensi kenaikan harga minyak sawit ini tentunya sangat berdampak kepada konsumen. Negara Indonesia yang juga dikenal dengan masakan yang serba digoreng, mulai dari pedagang gorengan sampai ibu rumah tangga juga ikut merasakan imbas dari kenaikan harga minyak sawit.
Menurut data yang didapat dari sebuah sumber terkait dampak kenaikan harga minyak sawit ini sangat berdampak bagi masyarakat Indonesia. Kenaikan harga minyak sawit juga berdampak pada pedagang yang menggunakan minyak sebagai bahan untuk pengolahan. Salah satu contoh pedagang yang merasa terkena dampak kenaikan minyak sawit yaitu pedagang ayam geprek. Keuntungan yang didapat setelah adanya kenaikan harga minyak sawit mengalami penurunan hingga 50%, itu juga belum lagi dibagi untuk membeli gas, membayar sewa dan juga membayar listrik. Sisa dari pendapatan itu pedagang hanya bisa berhemat 10-20% saja, saat minyak sawit tidak naik para pedagang bisa menghemat hingga 30-40% dari keuntungan penjualannya. Kenaikan harga minyak sawit memberikan banyak dampak terhadap toko dan para pedagang lainnya. Pedagang mengaku semenjak terjadinya kenaikan harga minyak sawit, banyak pembeli yang berputar arah untuk memutuskan tidak jadi membeli minyak ketika mengetahui bahwa harganya yang sangat mahal. Padahal jika ada pembeli yang membeli minyak, bisa untuk membantu pemasukan toko menjadi lebih banyak. Ketika pembeli memutuskan untuk tidak jadi membeli minyak sawit, para pedagang khawatir akan stok minyak yang menumpuk yang bisa membuat tokonya merugi.
Selain berdampak pada konsumen masyarakat Indonesia, naiknya harga minyak sawit juga memberi dampak lain, yakni merupakan salah satu penyebab inflasi. Pada Oktober 2021, minyak sawit telah menyumbang inflasi sebesar 0,12%. Dari sisi makroekonomi, inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak sawit dihitung sebagai inflasi tarikan permintaan. Inflasi permintaan dapat terjadi ketika permintaan barang dan jasa relatif tinggi dan ketersediaannya yang relatif tak seimbang, Inflasi tertinggi juga terjadi pada November sepanjang tahun 2021. Salah satu pemicu inflasi di sektor industri adalah terjadinya kenaikan harga minyak sawit di Indonesia. Tingginya permintaan membuat minyak sawit menyumbang 0,08% terhadap inflasi.
Pada tahun 2022, tepatnya di pertengahan bulan maret harga minyak sawit masih saja belum turun, bahkan harganya kian melejit. Kemasan minyak sawit merk dua liter sudah mencapai harga Rp 40.000-50.000, sehingga tak heran jika di bulan maret sampai bulan di bulan april minyak sawit juga kembali menjadi penyebab inflasi dengan kontribusi 0,4 persen. Hal itu terjadi karena pemerintah mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 dan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk pengiriman minyak sawit kemasan ke mekanisme pasar, serta adanya Pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap negara Indonesia yang mempengaruhi pada pasokan minyak sawit selama dua tahun terakhir ini menjadi penyebab utama melonjaknya harga minyak sawit.
Kenaikan harga minyak sawit sebenarnya sudah terjadi sejak akhir tahun 2021 hingga saat ini belum juga teratasi. Hal ini terjadi sejak November 2021 dimana harga minyak sawit merek kemasan naik menjadi Rp24.000,00 per liter. Oleh karena itu, timbul pertanyaan mengapa minyak sawit begitu mahal dan sulit diperoleh. Terlebih lagi sebagian masyarakat Indonesia sudah merasakan kenaikan harga minyak sawit sejak September 2021. Dimana minyak sawit kemasan 2 liter yang biasanya dibanderol dengan harga Rp25.000,00 hingga Rp27.000,00 namun pada pertengahan November 2021 harga minyak goreng kemasan 2 liter mencapai Rp35.000,00 hingga Rp37.000,00. Sementara itu, harga minyak sawit curah juga mengalami kenaikan harga sebesar Rp10.000,00/kg dari harga biasanya sebesar Rp12.000,00/kg menjadi Rp22.000,00/kg.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan mengatakan, naiknya harga minyak sawit di Indonesia dipengaruhi oleh kenaikan harga internasional yang naik cukup tajam, juga turunnya panen sawit sehingga menyebabkan gangguan pada rantai distribusi industri minyak sawit, adanya kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel bersamaan adanya penerapan kebijakan B30 dan gangguan logistik selama pandemi Covid19. Dengan kondisi yang cukup membuat resah sebagian besar warga Indonesia, pemerintah pun turun tangan dengan mengeluarkan kebijakan mematok satu harga untuk minyak sawit, yakni Rp14.000,00 per liter. Kementerian Perdagangan juga ikut memberlakukan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) dimulai pada tanggal 27 Januari 2022.
Tidak disangka hal ini juga menimbulkan sebuah permasalahan baru di kalangan masyarakat Indonesia. Ditetapkannya HET di tengah situasi penurunan produksi kelapa sawit, ditambah terganggunya distribusi minyak karena pandemi Covid-19 membuat ketidakseimbangan antara demand dan supply terhadap minyak sawit. Akibatnya, terjadi kelangkaan minyak sawit di toko ritel, supermarket, dan pasar tradisional. tidak hanya di satu dua daerah melainkan di berbagai daerah, dimana kita akan menemukan toko ritel modern dan rak minimarket, yang biasanya diisi dengan berbagai merek produk minyak sawit kosong. Situasi ini juga terjadi di beberapa pasar tradisional di Indonesia, di mana warung yang biasa menjual minyak sawit dengan berbagai kemasan dan berbagai merek kini terlihat jarang ditemui. Harapan penulis dimana juga merupakan salah bagian dari rakyat Indonesia. Alangkah baiknya kepada pemerintah untuk segera bertindak lebih lagi terkait permasalahan minyak sawit yang tak kunjung selesai ini, agar harga minyak sawit kembali normal dan dapat membantu menurunkan inflasi di negara Indonesia agar para konsumen kembali mudah untuk membeli minyak sawit dengan harga yang terjangkau.